ASKEP STROKE

A.     DEFINISI

Stroke/CVD (Cerebro Vaskuler Disease) merupakan gangguan suplai oksigen ke sel-sel syaraf yang dapat disebabkan oleh pecahnya atau lebih pembuluh darah yang memperdarai otak dengan tiba-tiba. (Brunner dan Sudart, 2002)

Stroke merupakan cedera otak yang berkaitan obstruksi aliran darah otak. Stroke dapat menjadi akibat pembentukan trombus ke otak/di suatu arteri serebrum, akibat embolus yang mengalir ke otak dari tempat lain ke tubuh atau akibat perdarahan otak. (Corwin, 2001)

Sroke merupakan penyakit neurologis yang sering dijumpai dan harus di tangani secara tepat dan cepat. Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang timbul mendadak yang disebabkan karena terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja. (Muttaqin, 2008)

 

B.      ETIOLOGI

Ø  Trombosit stroke yang disebabkan oleh bekuan darah di dalam pembuluh darah otak.

Ø  Embolisme serebral yang disebabkan oleh bekuan darah atau material lain ke otak dari bagian tubuh lain.

Ø  Iskemia penurunan aliran darah ke otak terutama karena kontriksi pada arteri yang mensuplai darah ke otak tidak stabil.

Ø  Hematology, serebral pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke jaringan ruang sekitar otak.

 

C.      FAKTOR RESIKO STROKE

Menurut Muttaqin, A (2008) antara lain:

1.      Hipertensi merupakan faktor resiko pertama

2.      Penyakit cardiovaskuler-embolisme serebral berasal dari jantung

3.      Kolesterol tinggi

4.      Obesitas

5.      Peningkatan hematokrit, meningkatkan resiko infark serebral

6.      Kontrasepsi oral (khusunya dengan hipertensi, merokok, kadar estrogen tinggi)

7.      Merokok

8.      Penyalahgunaan obat (khususnya kokain)

 

D.     ANATOMI FISIOLOGI

Anatomi fisiologi sistem persyarafan (otak)

Penjelasan:

1.      Otak

Berat otak manusia sekitar 1400 gram dan tersusun oleh ± 100 triliun neuron-neuron terdiri dari 4 bagian besar yaitu serebrum (otak besar), sereblum (otak kecil), brain (batang otak), dan diense falon. (Satya negara, 1998)

Serebrum terdiri dari 2 hemisfer serebri, korpus kolosum dan korteks serebri. Masing-masing serebri terdiri dari lobus frontalis yang merupakan area motorik primer yang bertanggung jawab dengan pergerakan. Oksipitalis yang mengandung korteks penglihatan.

 

 

2.      Sirkulasi darah otak

Otak menerima 17% (darah jantung dan menggunakan 20% konsumsi O2 total manusia untuk metabolisme aerobiknya). Otak diperdarai oleh dua arteri yaitu karotis intern dan arteri vertebralis, dalam rongga kranium. Keempat ini saling berhubungan (sistem anatomi sirkulasi).

 

E.      TANDA DAN GEJALA

Menurut Soekarto (2004) tanda dan gejala stroke adalah sebagai berikut:

1.      Bila muncul kehilangan rasa atau lemah pada muka, bahu atau kaki terutama terjadi pada separuh badan.

2.      Merasa bingung, sulit bicara, atau sulit menangkap pengertian.

3.      Sulit melihat sebelah mata/dengan sebelah mata ataupun kedua mata.

4.      Tiba-tiba sulit berjalan, pusing dan kehilanga keseimbangan atau koordinasi.

5.      Sakit kepala yang amat sangat tanpa diketahui penyebab yang jelas.

 

F.       JENIS STROKE

Dalam Nationan Stroke Association-USA (NSA) menjelaskan bahwa stroke dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu:

1.      Stroke iskemik (Ischemic Stroke)

2.      Stroke karena perdarahan mendadak atau stroke hemoragi

Lebih kurang 82% dari stroke adalah iskemik, meskipun lebih jarang terjadi, srtoke karena perdarahan lebih bahaya.

 

G.     PATOFISIOLOGI

Pada otak banyak terdapat pembuluh darah arteri dan cabang-cabang yang menyuplai darah ke otak. Setiap darah arteri menyuplai area yang spesifik dari otak, dan beberapa area tersebut mendapatkan suplai lebih dari satu pembuluh arteri. Kekurangan darah segar yang disebabkan oleh gangguan.

Ex: Terdapatnya timbunan flak atau pecahnya arteri dapat menimbulkan stroke dengan kata lain stroke adalah gangguan suplai darah pada bagian otak.

Tidak ada bagian dari badan dapat mempertahankan atau bertahan hidup bila ada gangguan suplai darah dalam jangka waktu yang lama karena darah membawa oksigen dan bahan makanan lain untuk kehidupan. Dan otak lebih peka. Otak berfungsi sebagai pusat pengendalian badan untuk mengarahkan setiap pemikiran dan gerakan fisik. Bila terjadi gangguan fungsi otak, gejalanya tampak apabila pada tingkah laku dan gerakan orang yang bersangkutan.

 

 

H.     MANIFESTASI KLINIS

1.      Daerah otak yang mengalami iskemia menentukan gambaran klinis, kemampuan mental, emosi, bicara, atau gerakan dapat terpengaruhi, banyak kelainan yang bersifat ireversibel.

2.      Stroke hemoragik sering di sertai oleh nyeri kepala hebat dan hilangnya kesadaran.

 

I.        KOMPLIKASI

Individu yang menderita stroke berat pada bagian otak yang mengontrol respons pernafasan atau kardiovaskuler dapat meninggal.

Penatalaksanaan Medis:

1.      Stroke embolik dapat di terapi dengan antikoagulasi.

2.      Stroke hemoragik di obati dengan penekanan pada penghentian perdarahan dan pencegahan kekambuhan, mungkin diperlukan tindakan bedah.

3.      Semua stroke di terapi dengan tirah barih dan penurunan rangsang eksternal untuk mengurangi kebutuhan oksigen serebrum. Dapat dilakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan tekanan dan edema intrakranium.

 

J.        ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian:

1.      Aktivitas/istirahat

Gejala  : Merasa kesulitan dalam melakukan aktivitas karena kelemahan kehilangan sensasi atau paralysis (Hemiplagia).

Tanda  : Gangguan tonus otot (flaksid, spatis) paralitik (Hemiplagia) dan terjadi kelemahan umum, gangguan penglihatan, dan gangguan tingkat kesadaran.

2.      Sirkulasi

Gejala  : Adanya penyakit jantung (Mi, reumatik, penyakit jantung vaskuler, GJK endokarditis bacterial, polisitemia, riwayat hipotensi post ural).

Tanda  : Hipertensi arterial (dapat ditemukan/terjadi pada CSV) sehubungan dengan adanya embolisme/malformasi vaskuler. Nadi dapat berfariasi (kerena ketidakstabilan fungsi jantung), obat-obatan, efek stroke pada pusat vasomotor.

3.      Integritas

Gejala  : Perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa.

Tanda  : Emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih dan gembira, sulit dalam mengekspresikan diri.

4.      Eliminasi

Gejala  : Perubahan pada berkemih seperti inkotenensia urine, anuria, distensi abdomen (kandung kemih berlabihan), bising usus negatif (ileus paralitik)

5.      Makanan/cairan

Gejala  : Nafsu makan hilang, mual muntah selama akut (peningkatan TIK), kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi dan tenggorokan disfagia.

Tanda  : Kesulitan menelan (gangguan pada refleks palatum dan faringeal), obesitas (faktor resiko).

6.      Neurosensori

Gejala  : Sinkope/pusing sakit kepala, akan sangat berat dengan adanya perdarahan intraserebral dan subaraknoid.

Tanda  : Status mental/tingkat kesadaran biasanya terjadi koma pada tahap awal hemoragik, ketidaksadaran biasanya akan tetap sadar jika penyebabnya adalah trombosis yang bersifat alami, gangguan tingkah laku. Ex: latergi apatis, dll.

7.      Nyeri/kenyamanan

Gejala  : Sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda (karena arteri karotis terkena).

Tanda  : Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan pada otot/fasia.

8.      Pernafasan

Gejala  : Merokok (faktor resiko)

Tanda  : Ketidakmampuan menelan/batuk/hambatan jalan nafas, timbulnya pernafasan sulit dan/tak teratur, suara nafas terdengar ronki.

9.      Keamanan

Tanda  : Motorik/sensorik masalah dengan penglihatan perubahan persepsi terhadap orientasi dengan tubuh stroke kanan kesulitan dalam menelan tidak mampu memenuhi kebutuhan nutrisi sendiri.

10.  Interaksi Sosial

Tanda  : Masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi.

11.  Penyuluhan/pembelajaran

Gejala  : Adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke faktor resiko, pemakaian kontrasepsi oral, kecanduan alkohol faktor resiko.

Pertimbangan: DKC menunjukan rata-rata lama di rawat 3,7 hari.

Rencana pemulangan: Mungkin memerlukan obat/penanganan terapeutik, bantu dalam hal transportasi, berbelanja, penyiapan makanan, perawatan diri dan tugas-tugas rumah.

 

K.      PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Ø  Angiografi serebral: Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik.

Ex: Perdarahan atau obstruksi arteri adanya titik oklusi atau ruptur.

Ø  CT Scan: Memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya infark.

Ø  Fungsi Lumbal: Menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada trombus emboli serebral dan TIA.

Ø  MRI: Menunjukkan darah yang mengalami infark, hemoragik, malfarmasi arteriovena (MAV).

Ø  Ultrasonogravi doppler: Mengidentivikasi penyakit arteriovena.

Ø  EEG: Mengidentifikasi masalah pada gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.

Ø  Sinar X tengkorak: Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari masa yang meluas.

 

 

 

L.       DIAGNOSA KEPERAWATAN, INTERVENSI, DAN RASIONAL

NO

DIAGNOSA KEPERAWATAN

INTERVENSI

RASIONAL

1.

Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah: gangguan oklusif, hemoragik, nasospasme edema serebral.

Hasil:

  • Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya membaik, fungsi kognitif dan motorik/ sensorik.
  • Mendemonstrasikan tanda-tanda stabil dan tak adanya tanda-tanda peningkatan TIK.

1.    Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan penyebab khusus selama koma/ penurunan perfusi serebral dan potensial terjadinya peningkatan TIK.

2.    Monitor status neurologist sesering mungkin dan membandingkan dengan keadaan normal/ standar.

3.    Evaluasi pupil, catat ukuran bentuk, kesamaam dan reaksinya terhadap cahaya.

4.    Letakkan kepala dengan posisi agak di tinggikan dan dalam posisi anatomis (netral).

5.    Cegah terjadinya mengejan saat defekasi dan pernafasan yang memaksakan batuk terus menerus.

6.    Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian oksigen.

1.    Mempengaruhi tingkat penetapan intervensi kerusakan neurologist atau kegagalan memperbaiki setelah fase awal memerlukan tindakan pembedahan atau dipindahkan ke ruang ICU.

2.    Mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan potensi peningkatan TIK dan mengetahui lokasi luas dan kemajuan/ resolusi kerusakan SSP.

3.    Reaksi pupil di atur oleh saraf cranial okumolator dan berguna dalam menentukan apakah batang otak tersebut masih baik.

4.    Menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan sirkulasi perfusi jaringan serebral.

5.    Manuver valsava dapat meningkatkan TIK dan memperbesar resiko terjadi perdarahan.

6.    Menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral.

2

Kerusakan mobilitas fisik b.d keterlibatan neuromuskuler kelemahan.

Perestaria: Flaksid/paralysis hipotonik awal paralysis spatis.

Hasil:

  • Mempertahankan posisi optimal dari fungsi yang dibuktikan oleh tak adanya kontraktur footdrop.
  • Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang terkena atau kompensasi.

Kaji kemampuan secara fungsional/luasnya kerusakan awal dengan cara teratur, klasifikasikan melalui skala 0-4.

 

Ubah posisi minimal setiap 2 jam (terlentang, miring) dan jika memungkinkan bisa lebih sering jika diletakkan dalam posisi yang terganggu.

 

 

 

Letakkan pada posisi telungkup satu kali atau dua kaki sehari jika penderita dapat mentoleransinya.

 

Lakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif.

 

 

 

Sokong ekstremitas dalam posisi fungsional, gunakan papan kaki (food board) selama periode paralysis flaksid, mempertahankan posisi kepala netral.

 

Gunakan penyangga lengan ketika penderita berada dalam posisi tegak, sesuai indikasi.

 

 

 

Posisi lutut dan panggul dalam posisi ekstensi.

 

Kolaborasi/konsultasi dengan ahli fisioterapi secara aktif latihan resistif dan ambulasi.

Mengidentifikasi kekuatan, kelemahan dan dapat memberikan informasi menjalani pemulihan.

 

Menurunkan resiko terjadi trauma/iskemia jaringan daerah yang mengalami kerusakan sirkulasi yang lebih jelek dan menurunkan sensasi dan besar meminimalkan dekubitus.

 

Membantu mempertahankan ekstensi pinggul fungsional.

 

Meminimalkan atrofi otot meningkatkan sirkulasi membantu mensegah kontraktur.

 

Mencegah kontraktur (foot drop) dan memfasilitasi kegunaanya jika berfungsi kembali.

 

 

 

Selama paralysis flaksid penggunaan penyangga dapat menurunkan resiko terjadinya subluksasio lengan dan sindrom bahu lengan.

 

Mempertahankan posisi fungsional.

 

Program yang khusus dapat dikembangkan untuk menentukan/ menemukan kebutuhan yang berarti/mencegah kekurangan tersebut dalam keseimbangan, koordinasi dan kekuatan.

3

Kerusakan komunikasi verbal b.d kerusakan sirkulasi serebral kerusakan neuromuskuler, kehilangan tonus/ control otot fasia/oral kelemahan/kelelahan umum.

Hasil:

  • Mengindikasikan pemahaman tentang masalah komunikasi.
  • Membuat metode komunikasi dimana kebutuhan dapat diekspresikan.
  • Menggunakan sumber-sumber dengan tepat.

Kaji tipe fungsional seperti penderita tidak tampak memahami kata atau mengalami kesulitan untuk berbicara/membuat pengertian sendiri.

 

Minta penderita untuk menulis nama atau kalimat yang pendek.

 

 

 

 

 

 

Berikan metode komunikasi alternative. Ex: menulis dipapan tulis dan berikan petunjuk visual.

 

 

Antisipasi dan penuhi kebutuhan penderita.

Kolaborasi pada ahli terapi wicara.

 

Kolaborasi pada ahli terapi wicara.

Membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan serebral yang terjadi dan kesulitan dalam beberapa tahap proses komunikasi.

 

Menilai kemampuan menulis (agratia) dan kekurangan dalam membaca yang benar (aleksia) yang juga merupakan bagian dari afasia sensorik dan afasia motorik.

 

Memberikan komunikasi tentang kebutuhan berdasarkan keadaan/deficit yang mendasarinya.

 

Bermanfaat menurunkan frustasi.

 

 

 

Berfungsi untuk mengidentifikasi kebutuhan terapi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Brunner, I, S dan Suddarnth, Drs (2002) Buku Ajaran Keperawatan Medical Bedah Vol2 Jakarta: EGC

Carwin, J, E (2001) Buku Saku Patofisiologi, Jakarta: EGC

Doengus, (2002), Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC

Hidayat.A.A (2006), Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, Jakarta: Salemba Medika

Muttaqin. A (2008), Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika

Dipublikasi di Tak Berkategori | Meninggalkan komentar

ASKEP KATARAK

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.      Pengertian

Katarak adalah opasitas lensa kristalina yang normalnya jerih dan lensa yang berkabut atau opak.

( Suzanne C. Smeltzer. 2001)

 

Katarak adalah kekeruhan lensa mata atau kapsul lensa yang mengubah gambaran yang diproyeksikan pada retina.

( Indriyana N. Istiqomah. 2005)

 

Katarak adalah setiap kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa dan denaturasi protein.

( Sidarta Ilyas. 2003)

 

Katarak adalah suatu keadaan dimana lensa mata yang biasanya jernih dan bening menjadi keruh.

( Sidarta Ilyas. 2004)

 

B.       Etiologi

Sebagian besar katarak terjadi karena proses degenerati stsu bertambahnya usia seseorang. Usia rata-rata faktor terjadinya katarak diatas usia 60 tahun, akan tetapi katarak juga dapat terjadi pada usia bayi/ neonatus karena terinveksi virus saat kehamilan usia muda. Ada beberapa penyebab yaitu lensa katarak yang keruh terjadi karena kelainan bawaan, proses ketuaan, penyakit umum seperti diabetes, penggunaan obat khususnya steroid, mata tanpa pelindung yang terkena sinar matahari yang lama, rokok atau alkohol, operasi mata sebelumnya, trauma (kecelakaan) pada mata dan faktor lain yang belum diketahui.

 

 

 

 

C.      Patofisiologi

Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan yang berbentuk seperti kancing baju  yang memepunyai kekuatan refraksi yang besar. Lensa mengandung tiga komponen anatomis, pada zona sentral terdapat nukleus, korteks pada perifer sedangkan kapsul adalah bagian yang menegelilingi korteks dan nukleus.

 

Dengan bertambahnya usia, nukleus mengalami perubahan warna menjadi coklat kekuningan. Di sekitar opasitas terdapat densitas seperti duri di anterior dan posterior nukleus, opasitas pada kapsul posterior merupakan bentuk katarak yang paling bermakna tampak seperti kristal salju pada jendela.

 

Perubahan fisik dn kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi. Perubahan pada serabut halus multiple (zunula) yang memanjang dari badan siliar kesekitar daerah luar lensa yang meneyebabkan penglihatan distorsi. Perubahan kimia dalam protein lensa dapat menyebabkan koagulasi, sehingga mengabutkan pandangan dengan menghambat jalannya cahaya keretina. Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal terjadi disertai influks air kedalam lesa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang tengang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim mempunyai peran dalam melindungi lesa dari degenerasi. Jumlah enzim akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien yang menderita katarak.  

 

Manifestasi dari katarak biasany ditandai dengan adanya laporan dari klien terjadi penurunan penglihatan, silau dan gangguan fungsional sampai derajat yang diakibatkan kehilangan penglihatan, pengembunan seperti mutiara keabuan pada pupil sehingga retina tidak tamak dengan oftalmoskop, pandangan kabur atau redup, distorsi hingga susah melihat dimalam hari. Komplikasi pada katarak, penyulit yang terjadi berupa visus tidak akan mampu mencapai 5/5, ampliopia dan kehilangan penglihatan.

D.      Penatalaksanaan Medis

1.    Konserfatif

a.    Farmakoterapi

1)   Asetalozamid/ metazolamid yaitu bekerja menurunkan TIO misalnya midriasil.

2)   Obat – obat simtomatik berupa fenilefrin untuk vasokontriksi dan midriasis.

3)   Parasimpatolitik untuk menyebabkan paralisis dan menyebabkan otot siliaris tidak dapat menggerakan lensa.

b.    Non Farmakoterapi

1)   Pengguna kacamata untuk membantu penglihatan yang kurang

2)   Diit Lunak

 

2.    Operatif

a.    Ekstracapsular Cataract Extrractie (ECCE)

Korteks dan nukleus diangkat , kapsul posterior ditinggalkan untuk menegah prolaps vitrus, untuk melindungi retina dari sinar ultraviolet dan memberikan sokongan untuk implantasi lensa intraokuler.

b.    Intracapsular Cataract Extrractie (ICCE)

Pada pembedahan jenis ini lensa diangkat seluruhnya. Keuntungan dari prosedur adalah kemudahan prosedur ini dilakukan. Sedangkan kerugiannya , mata beresiko tinggi mengalami retinal detachment dan mengangkat struktur penyongkong dan penanaman lensa intraokuler.

 

E.       Asuhan Keperawatan Post Operasi

1.    Pengkajian

a.    Aktivitas / Istirahat

Gejala : perubahan aktivitas biasanya / hobi sehubungan dengan gangguan penglihatan

b.    Makanan / Cairan

Gejala : Mual / Muntah (glaukoma akut)

c.    Neurosensori

Gejala : Gangguan penglihatan (kabur/tak jelas), sinar terang menyebabkan silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat/merasa di ruang gelap (katarak). penglihatan berawan, kabur, tampak lingkaran cahaya/pelangi di sekitar sinar, kehilangan penglihatan perifer, fotofobia(glaukoma akut).

d.        Nyeri/ Kenyamanan

Gejala : Ketidaknyamanan ringan / maya berair (glaukoma kronis). Nyeri tiba-tiba berat menetap / tekanan pada air mata , sakit kepala (glaukoma akut).

e.         Penyuluhan / pembelajaran

Gejala : Riwayat glaukoma diabetes, gangguan sistem voskuler, riwayat stress.  Alergi : Gangguan vasomotor (contoh peningkatan tekanan vera), keseimbangan endokrin, diabetes (glaukoma).

f.         Kolesterol serum dan pemeriksa lipid : untuk memastikan adanya arteriasklerosis

g.        Tes toleransi glukosa : mungkin meningkat adanya diabetes.

h.        Pemeriksaan diagnostik :

1)   Kartu mata snellen / mesin telebinokuler : mungkin terganggu dengan kerusakan kornea, lensa, aqoeus /vitreus humor, kerusakan refraksi, penyakit sistem syaraf,penglihatan retina.

2)   Lapang penglihatan : penurunan mungkin karena massa tumor, karotis, glukoma.

3)   Pengukuran tonografi : TIO (12-25 mmHg)

4)   Pengukuran ginioskopi membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup glukoma.

5)   Tes provokatif : menentukan adanya tipe glukoma.

6)   Oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, atrofi lempeng optik, papiledema perdarahan.

7)   Darah lengkap LED : menentukan anemi sistemik / infeksi.

8)   EKG, Kolesterol, Lipid, Serum

9)   Tes toleransi glukoma : kontrol DM

 

F.       Diagnosa Keperawatan

Diagnosa pre op katarak

1.    Perubahan sensori perseptual (visual) yang berhubungan dengan kekeruhan pada lensa.

2.    Takut yang berhubungan dengan kehilangan pandangan komplet, jadwal pembedahan, atau ketidak mampuan mendapatkan pandangan.

3.    Resiko cidera yang berhubungan dengan penurunan visus, umur atau berada pada lingkungan yang tidak dikenal.

4.    Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer.

5.    Isolasi sosial yang berhubungan dengan penurunan tajam penglihatan, takut, cedera, penurunan kemampuan mengendalikan komunitas atau takut malu.

6.    Defisit pengetahuan yang berhubungan dengan terbatasnya informasi atau kesalahan interpretasi informasi yang sudah didapat sebelumnya.

Diagnosa post op katarak

1.    Resiko tinggi cidera berhubungan dengan peningkatan TIO.

2.    Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (bedah pengangkatan katarak).

3.    Gangguan sensori perseptual penglihatan berhubungan dengan gangguan penerimaan sensori/ status organ indra.

4.    Kurang pengetahuan kebutuhan belajar tentang kondisi, prognosis pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi.

 

 

 

G.      Perencanaan

1.    Perubahan sensori perseptual (visual) yang berhubungan dengan kekeruhan pada lensa mata.

Tujuan             : tidak terjadi perubahan visual

Kriteria hasil   : dapat mendemonstrasikan peningkatan kemampuan untuk memproses rangsangan visual dan mengkomunikasikan pembatasan pandangan.  

Perencanaan

a.         Kaji dan dokumentasikan ketajaman penglihatan (visus) dasar.

b.         Dapatkan deskriptif fungsi tentang apa yang bisa dan tidak bisa dilihat oleh klien.

c.         Adaptasikan lingkungan klien dengan kebutuhan lingkungan.

d.        Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang disukai klien.

e.         Beritahu klien bentuk-bentuk rangsangan alternatif (radio, TV dan percakapan).

f.          Berikan sumber rangsangan sesuai permintaan.

g.         Rujuk klien ke pelayanan yang memberikan bantuan seperti buku percakapan

h.         Kolaborasi untuk pembedahan.

 

2.    Takut yang berhubungan dengan kehilangan pandangan komplet, jadwal pembedahan, atau ketidakmampuan mendapatkan pandangan.

Tujuan             : rasa takut berkurang dan tidak ditemukan.

Kriteria hasil   : tidak terjadi perdarahan intra okuler dan tidak ada peningkatan tekanan intra okuler.

Perencanaan

a.         Ajarkan tanda dan gejala komplikasiyang harus dilaporkan pada dokter dengan segera, meliputi meningkatnya nyeri mata, keluarnya diskar purulen, penurunan visus, demam, meningkatnya nyeri dahi.

b.         Instruksikan untuk tidak mengejan saat defekasi

c.         Kaji derajat dan durasi gangguan visual, dorong percakapan untk mengetahui keprihatinan pasien, perasaan dan tingkat pemahaman.

d.        Orientasikan pasien pada ligkungan baru.

e.         Jelaskan rutinitas perioperatif.

f.          Dorong untuk menjalankan kebiasaan atau orang yang berarti dalam perawatan pasien.

 

3.    Resiko cidera berhubungan dengan penurunan visus, umur atau berada pada lingkungan yang tidak dikenal.

Tujuan             : tidak terjadi cidera atau gangguan visual akibat jatuh

Kriteria hasil   :   klien mampu mengidentifikasi hal yang dapat meningkatkan risiko cidera. Klien mampu menyingkirkan benda yang berbahaya dari lingkungan. Dapat melaporkan tidak mengalami cidera.

a.         Beritahu klien bahwa penutupan mata dengan bebat dan/ atau shield menyebabka pandangan monokulera atau mempersempit lapang pandang.

b.         Kurangi resiko bahaya dari lingkungan pasien.

c.         Beritahu klien untuk mengubah posisi secara perlahan.

d.        Beritahu klien agar tidak meraih benda untuk stabilitas saat ambulasi.

e.         Dorong klien untuk menggunakan peralatan adaptif mis., tongkat.

 

4.    Resiko infeksi berhubungan Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan primer

Tujuan             : Pertahanan primer yang adekuat

Kriteria hasil    : Pencapaian pemulihan luka tepat waktu

Perencanaan

a.         Pantau tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan suhu.

b.         Observasi pernyataan adanya inflamasi.

c.         Pantau pernafasan dan bunyi nafas.

d.        Observasi terhadap tanda dan gejala peningkatan nyeri.

e.         Pertahankan perawatan aseptik.

f.          Berikan obat sesuai indikasi.

 

5.    Isolasi sosial yang berhubungan dengan penurunan tajam penglihatan, takut, cedera, penurunan kemampuan mengendalikan komunitas atau takut malu.

Tujuan             : tumbuhnya rasa percaya diri pasien dan pandangan mata tetap kontak.

Kriteria hasil   : keluarga memberikan bantuan dalam penatalaksanaan pengobatan dan perawatan mata pasca operasi.

Perencanaan

a.         Jelaskan rutinitas pre dan post operasi katarak padaklien serta libatkan keluarga dalam penjelasan yang berubungan dengan perawatan pasca operasi.

b.         Beritahu klien dan keluarga tentangobat mata yang digunakan.

 

6.    Defisit pengetahuan yang berhubungan dengan terbatasnya informasi atau kesalahan interpretasi informasi yang sudah didapat sebelumnya.

Tujuan             : klien mengerti akan informasi seputar katarak

Kriteria hasil    : kembali kerumah dan  bisa merawat diri dengan aman dalam lingkungan yang telah disiapkan. Menembangangkan rencana perawatan diri dalam perubahan hidup yan diinginkan.

Perencanaan

a.         Diskusikan tempat yang diinginkan klien untuk pemulihan pasca operasi.

b.         Diskusikan kemampuan klien sekarang untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri dan aktivitas sehari-hari klien.

c.         Evaluasi bagaimana kemampuan fungsi klien sekarang akan terpengaruh oleh pembatasan aktivitas dan kebutuhan perawatan pasca operasi.

d.        Bantu klien menentukan sisi realistik untuk pemulihan pasca operasi.

e.         Ajarkan klien aktivitas perawatan diri yang diperlukan.

f.          Bantu klien untuk menentukan aktivitas apa yang akan memerlukan bantuan.

g.         Evaluasi sumber-sumber bantuan.

7.    Resiko tinggi cidera berhubungan dengan  peningkatan TIO

Tujuan             : klien memahami faktor yang menyebabkan kemungkinan cidera.

Kriteria Hasil  : menunjukan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor resiko dan untuk melindungi diri dari cidera

Perencenaan

a.         Beritahu klien apa yang terjadi pada pasca operasi tentang nyeri, pembatasan aktivitas, penampilan, balutan mata.

b.         Batasi aktivitas klien seperti menggerakkan kepala tiba-tiba, menggaruk mata, membongkok.

c.         Berikan pasien posisi bersandar, kepala tinggi, atau keposisi yang tak sakit.

d.        Observasi pembengkakan luka bilik anterior kempres, pupil berbentuk buah pir.

 

8.    Resiko tinggi infeksi b/d prosedur invasif (bedah pengangkatan katarak)

Tujuan             : meningkatkan penyembuhan luka tepat waktu

Kriteria Hasil  : Meningkatkan penyembuhan luka tepat waktu, bebas drainase purulen, eritema dan demam.

Perencanaan

a.         Beritahu klien pentingnya mencuci tangan sebelum menyentuh/ mengobati mata.

b.         Ajarkan tekhnik yang tepat untuk membersihkan mata dari dalam ke luar dengan tissu basah untuk setiap usapan.

c.         Tekankan pentingnya tidak  menyentuh atau menggaruk mata yang dioperasi.

d.        Kaji tanda terjadinya infeksi.

e.         Berikan antibiotic.

 

9.    Gangguan sensori perseptual penglihatan b/d gangguan penerimaan sensori / status organ indra.

Tujuan             : Meningkatkan ketajaman penglihatan dalam batas situasi individu.

Kriteria Hasil  : Mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap perubahan

Perecanaan

a.         Kaji ketajaman penglihatan , cacat apakah satu atau dua mata terlibat

b.         Orientasikan klien terhadap lingkungan

c.         Observasi tanda-tanda dan gejala-gejala disorientasi

d.        Perhatikan tentang iritasi mata.

 

10.  Kurang pengetahuan kebutuhan belajar tentang kondisi, prognosis, pengobatan.

Tujuan             : Klien memahami kondisi / proses penyakit.

Perenanaan

a.         Kaji informasi tentang kondisi individu

b.         Tekankan pentingnya evaluasi

c.         Informasikan pasien untuk menghindari tetes mata yang di jual bebas

d.        Anjurkan pasien menghindari membaca, berkedip, mengangkat berat dan mengejan.

 

 

 

H.      Pelaksanaan Keperawatan

Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai tujuan yang spesifik (lyer et al., 1996). Yang dimulai setelah rencana intervensi disusun dan ditujukan pada nursing order untui membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan.

(Nursalam)

 

Tujuan dari implementasiadalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi koping. Perencanaan asuhan keperawatan dapat dilaksanakan dengan baik, jika klien mempunyai keinginan untuk berpartisipasi dalam implementasi asuhan keperawatan. Selama tahap implementasi, perawat terus melakukan pengumpulan data dan memilih asuhan keperawatan yang paling sesuai dengan kebutuhan klien. Dan didokumentasikan kedalam forma yang telah ditetapkan oleh instansi.

 

Penyususnan asuhan keperawatan melalui tiga tahap yaitu tahap persiapan, intervensi dan pendokumentasian.

1.    Tahap persiapan

Tahap awal pelaksanaan asuhan keperawatan menuntut perawat mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk melakukan intervensi. Yang meliputi kegiatan meninjau ulang (review) asuhan keperawatan yang telah diidentifikasi pada tahap perencanaan. Menganalisis pengetahuan dan ketrampilan keperawatan yang diperlukan, mengetahui kompliksai dari intervensi keperawatan yang mungkin timbul, menentukan dan mempersiapkan peralatan yang diperlukan, mempersiapkan lingkunngan yang kondusif sesuai dengan intervensi, mengidentifikasi aspek hukum dan kode etik keperawatan terhadap resiko yang mungkin muncul akibat dilakukan intervensi.

 

2.    Tahap Intervensi

Dalam melakuakan tindakan keperawatan menggunakan tiga tahap pendekatan yaitu, independen, dependen, dan interdependen. Tindakan keperawatan secara independen adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh perawat tanpa petunjuk dan perintah oleh dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Interdependen adalah tindakan keperawtan yang menjelaskan suatu kegiatan dan memerlukan kerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya, mis., tenaga sosial, ahli gizi da dokter. Sedangkan dependen adalah tindakan yang berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis.

 

3.    Tahap Dokumentasi

Implementasi asuhan keperawatan harus diikuti oleh pendokumentasian yang lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian yang terjadi dalam proses keperawatan. Ada tiga model pendokumentasian yang digunakan dalam proses keperawatan, yaitu sources- oriented records, problem-otiented records (POR), dan Computer-assicsted record.

 

I.         Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melngkapi proses keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosis keperawatan, rencana intervensi, dan implementasinya. Menurut griffith dan Cristensen (1986), evaluasi sebagai suatu yang direncanakan dan perbandingan yang sistemik pada status kesehatan klien.

 

Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat respons klien terhadap asuhan keperawatan yang diberikan sehingga perawat dapat mengambil keputusan (lyer et al., 1996) yaitu Mengakhiri rencana asuhan keperawatan, Memodifikasi rencana asuhan keperawatan, dan Meneruskan asuhan keperawatan

 

Tahap evaluasi pada proses keperawatan meliputi

1.    Mengukur pencapaian tujuan klien

Perawat menggunakan keterampilan pengkajian untuk mendapatkan data yang akan digunakan dalam evaluasi. Adapun faktor yang dievaluasi mengenai status kesehatan klien terdiri atas beberapa komponen.

a.    Kognitif (pengetahuan)

Tujuannya, mengidentifikasi pengetahuan spesifik yang diperlukan setelah klien diajarkan teknik-teknik tertentu. Meliputi pengetahuan klien terhadap penyakitnya, mengontrol gejala-gejalanya, pengobatan, diet, aktivitas, persediaan alat-alat, risiko komplikasi, gejala yang hatus dilaporkan, pencegahan, pengukuran. Dapat diperoleh melalui :

1)        Wawancara

Cara terbaik untuk mengevaluasi pengethauan klien. Strategi untuk mengetahui tingkatan pengetahuan klien :

a)   Recall knowledge : menanyakan kepada klien untuk mengingat beberapa fakta.

b)   Komprehensif : menanyakan kepada klien untuk menanyakan info yang spesifik dengan kata-katanya sendri.

c)   Aplikasi fakta : mengajak klien pada situasi hipotensi dan tanyakan intervensi yang tepat terhadap apa yang ditanyakan.

2)        Tes tertulis

Perawat biasanya menggunakan kertas dan pensil untu mengevaluasi pengetahuan klien terhadap hal-hal yang telah diajarkan.

 

b.    Afektif (status emosional )

Penilaian afektif klien cenderung bersifat subjektif dan sangat sukar dievaluasi. Ditulis dalam bentuk perilaku yang akan memberikan suatu indikasi terhadap staus emosoi klien.

1)        Observasi secara langsung. Perawat mengobservasi ekspresi wajah, postur tubuh, nada suara, dan isi pesan secara verbal pada waktu melakukan wawancara.

2)        Umpan balik dari profesi kesehatan lain. Perawata dapat menginformasikan profesi kesehatan lain untuk memberikan umpan balik (feedback) mengenai hasil observasi keadaan lien. Dapat dilakukan dengan berkomunikasi secara informal, pada saat rapat rapat tentang keadaan klien, dan didalam laporan pergantian jam dinas. Dengan adanya umpan balik dan tukar menukar informasi tersebut maka perawat akan mendapatkan banyak keuntungan.

c.    Psikomotor

Biasanya lebih mudah dievaluasi dibandingkan dnegan lainnya jika perlu yang dapat diobservasi sudah diidentifikasi pada kriteria hasil (tujuan), dan dapat dilakukan observasi perilaku secara langsung.

d.   Perubahan fungsi tubuh

Evaluasi pada komponen perubahan fungsi tubuh mencakup beberapa aspek status kesehatan klien yang dapat diobservasi. Dengan cara memfokuskan pada bagian fungsi fungsi kesehatan klien berubah setelah dilakukan asuhan keperawatan. Evaluasi pada gejala yang spesifk digunakan untuk menilai penurunan atau peningkatan gejala yang mempengaruhi status kesehatan klien. Dilakukan secara langsung, wawancara, dan pemeriksaan fisik.

 

2.    Penentuan keputusan pada tahap evaluasi

Ada tiga kemungkinan keputsan pada tahap ini yaitu klien telah mencapai hasil yang ditentukan dalam tujuan, klien dalam proses mencapai haisl yang ditentukan, klien tidak dapat mencapai hasil yang telah ditentukan.

 

Kualitas asuhan keperawatan dapat dievaluasi pada saat proses (formatif) dan melihat hasilnya (sumatif).

a.    Evaluasi proses

Fokus pada evaluasi proses (sumatif) adalah aktivitas dari proses keperawatandan hasil kualitas hasil pelayanan asuhan keperawatan. Evaluasi proses harus terus menerus dilaksanakan hingga tujuan yang telah ditentukan tercapai. Sistem penulisan pada tahap evaluasi ini dapat memnggunakan sistem SOAP atau model dokumentasi lainnya.

 

b.    Evaluasi hasil. Fokus evaluasi hasil (sumatif) adalah perubahan perilaku atau status kesehatan klien pada akhir asuhan keperawatan. Tipe evaluasi ini dilaksanakan pada akhir asuhan keperawatan secara paripurna. Evaluasi hasil bersifat objektif, fleksibel dan efisien.

 

c.    Komponen evaluasi

Komponen evaluasi dapat dibagi menjadi lima komponen (pinnell dan Meneses, 1986)

1)      Menentukan kriteria, standar praktek, dan pertanyaan evaluatif

a)      Kriteria

Digunakan sebagai pedoman observasi untuk mengumpulkan data dan sebagai enentuan kesahihan data yang terkumpul. Digunakan pada tahap evaluasi ditulis sebagai kriteria hasil menandakan hasil akhir asuhan keperawatan.

b)      Standar praktik

Standar asuhan keperawatan dapat digunakan untuk mengevaluai praktik keperawatan secara luas. Standar tersebut menyatakan hal yang harus dilaksanakan dan dapat digunakna sebagai suatu model untuk kualitas pelayanan. Standar harus berdasarkan hasil, penelitian, konsep teori, dan dapat diterima oleh praktik klinik keperawatan saat ini.

c)      Pertanyaan evaluatif

Untuk menentukan suatu kriteria dan standar, perlu digunakan pertanyaan evaluatif (evaluative questions) sebagai dasar mengevaluasi kualitas asuhan keperawatan dan respons klien terhadap intervensi. Pertanyaan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi :

·         Pengkajian : apakah dapat dilakukan pengajian pada klien ?

·         Diagnosis : apakah diagnosis bersama dengan klien ?

·         Perencanaan : apakah tujuan telah diidentifikasi dalam perencanaan ?

·         Implementasi : apakah klien telah mengetahui tentang intervensi yang akan diberikan ?

·         Evaluasi : apakah modifikasi asuhan keperawatan diperlukan ?

 

2)      Mengumpulkan data mengenai status kesehatan klien yang baru terjadi

Pada tahap ini kita perlu mempertimbangkan beberapa pertanyaan. Perawat yang profesional pertama kali mengkaji dan menyusun perencanaan adalah orang yang bertanggung jawab dalam mengevaluasi respon klien terhadap intervens yang diberikan. Perawat lain yang membantu dalam memberikan intervensi kepada klien harus berpartisipasi dalam proses evaluasi. Validitas informasi meningkat jika lebih dari satu oran yang ikut melakukan evaluasi.

 

3)      Menganalisis dan membandingkan data terhadap kriteria dan standar

Perawat melakukan ketrampilan dalam berfikir kritus, kemamuan dalam menyelesaikan masalah, dan kemampuan mengambil keputusan klinik. Sangat diperlukan untuk menentukan kesesuaian dan pentingnya suatu data dengan cara membandingkan data evaluasi dengan kriteria serta standar dan menyesuaikan asuhan keperawatan yang diberikan dengan kriteria dan standar yang sudah ada.

 

4)      Merangkum hasil dan membuat kesimpulan

Pertama kali yang perlu dilaksanakan oleh perawat pada tahap ini adalahmenyimpulkan efektivitas semua intervensi yang telah dilaksanakan. Kemudian menentukan kesimpulan pada setiap diagnosis yang telah dilakukan intervensi.

 

5)      Melaksanakan intervensi yang sesuai berdasarkan kesimpulan

Pada tahap ini perawat melakuakan suatu intervensi berdasarkan hasil kesimpulan yang sudah diperbaiki dari perencanaan ulang, tujuan, kriteria hasil, dan rencana asuhan keperawatan. Meskipun pengkajian dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan, aspek-aspek khusus perlu dikaji ulang dan penambahan data untuk akurasi suatu asuhan keperawatan.

 

d.   Dokumentasi

Perawat mendokumentasikan hasil yang telah atau belum dicapai pada rekam medik (medical record). Penggunaan istilah yang tepat perlu ditekankan pada penulisannya untuk menghindarai salah persepsi dan ketidak jelasan dalam menyusun asuhan keperawatan lebih lanjut.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Dongoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan  Keperawatan. Edisi 3. ( I Made  

        Kariasa, dkk, penerjemah). Jakarta : EGC.

 

Ilyas, Sidarta. 2004. Ilmu Perawatan Mata.Jakarta :  CV. Sagung Seto.

 

Istiqomah, Indriyana N. 2004. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Mata. Jakarta :

      EGC.

 

Nursalam. 2007. Proses dan Dokumentasi Keperawatan : Konsep dan Praktek, Ed. 2. Jakarta : Salemba Medika.

 

Price, Sylvia Anderson. 2005. Phathophysiologi Clinical Contect Of Disease

     Processe. Edisi 2.  (Peter Anugrah, penerjemah). Jakarta : EGC.

 

Sidarta  Ilyas, dkk. 2003. Sari Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Gaya Baru.

 

Smeltzer, C Suzanne. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 2. ( H. Kuacara,

      dkk, penerjemah ). Jakarta : EGC.

 

Dipublikasi di Tak Berkategori | Meninggalkan komentar

“ ASKEP OTITIS MEDIA “

BAB I

PENBAHULUAN

  1. A.   LATAR BELAKANG
            Otitis media adalah inflamasi pada bagian telinga tengah. Otitis media sebenarnya adalah diagnosa yang paling sering dijumpai pada anak – anak di bawah usia 15 tahun. Paling sering terjadi bila terdapat disfungsi tuba eustachii seperti obstruksi yang disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, inflamasi jaringan disekitarnya (eg : sinusitis, hipertrofi adenoid) atau reaksi alergik ( eg : rhinitis alergika) dan sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius. Gejala yang sering ditimbulkan pada otitis media biasanya ialah rasa nyeri, pendengaran berkurang, demam, pusing, juga kadang disertai mendengar suara dengung (tinitus).
    Sebagaimana halnya dengan kejadian infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), otitis media juga merupakan salah satu penyakit langganan anak. Di Amerika Serikat,  diperkirakan 75% anak mengalami setidaknya satu episode otitis media sebelum usia tiga tahun dan hampir setengah dari mereka mengalaminya tiga kali atau lebih. Di Inggris, setidaknya 25% anak mengalami minimal satu episode sebelum usia sepuluh tahun.4 Di negara tersebut otitis media paling sering terjadi pada usia 3-6 tahun.

 

 

  1. B.   TUJUAN

–          Untuk menembah pengetahuan dan meningkatkan pemahaman mahasiswa mengenai anatomi fisiologi (sistem sensori) telinga.

–          Untuk menambah pemahaman mahasiswa dalam melakukan tindakan keperawatan untuk kasus terkait.

–          Sebagai pelengkap tugas akhir semester pada mata kuliah sistem sensori.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

  1. A.    DEFENISI

Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid.

(Arif Masnjoer, Penerbit ; Media Aesculapius, 1999 )

  • Klasifikasi

Otitis media terbagi atas :

1).  Otitis Media Superatif

a. Otitis media superatif akut, atau otitis media akut

b. Otitis media superatif kronik

2). Otitis Media Non Superatif

a. Otitis media serosa akut

b.Otitis media serosa kronik

(Arif Masnjoer, Penerbit ; Media Aesculapius, 1999 )

 

 

  1. B.     ETIOLOGI

Kuman penyebab utama pada otitis media akut ialah bakteri riogenik, seperti streptokokus hemolitikukus, strafilokokus aureus, pneumokokus.

(Arif Masnjoer, Penerbit ; Media Aesculapius, 1999 )

 

 

 

  1. C.    MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis otitis media akut tergantung pada stadium penyakit serta umur pasien, keluhan utama pada anak yang sudah dapat berbicara adalah :

v  Rasa nyeri di dalam telinga

v  Terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya.

v  Suhu tubuh yang tinggi (39,5 0).

Pada orang dewasa terdapat keluhan, rasa nyeri, gangguan pendengaran berupa rasa penuh ditelinga.

  1. D.    PATOFISIOLOGI

Umumnya otitis media dari nasofaring yang kemudian mengenai telinga tengah, kecuali pada kasus yang relatif jarang, yang mendapatkan infeksi bakteri yang membocorkan membran timpani. Stadium awal komplikasi ini dimulai dengan hiperemi dan edema pada mukosa tuba eusthacius bagian faring, yang kemudian lumennya dipersempit oleh hiperplasi limfoid pada submukosa.

Gangguan ventilasi telinga tengah ini disertai oleh terkumpulnya cairan eksudat dan transudat dalam telinga tengah, akibatnya telinga tengah menjadi sangat rentan terhadap infeksi bakteri yang datang langsung dari nasofaring. Selanjutnya faktor ketahanan tubuh pejamu dan virulensi bakteri akan menentukan progresivitas penyakit.

 

  1. E.     PENGOBATAN

OMA umurnya adalah penyakit yang sembuh dengan sendirinya dalam 3 hari tanpa antibiotic (80% OMA). Jika gejala tidak membaik dalam 48-72 jam atau terjadi perburukan gejala, antibiotic diberikan. American Academic of Pediatrics (AAP) mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi harus segera di terapi dengan antibiotic sebagai berikut :

Usia

Diagnosis Pasti

Diagnosis Meragukan

< 6 Bulan

Antibiotik

Antibiotik

6 bulan – 2 tahun

Antibiotik

Antibiotik jika gejala berat, observasi jika gejala ringan.

2 tahun

Antibiotik jika gejala berat, observasi jika gejala ringan.

Observasi

 

–      Gejala ringan            : nyeri telinga ringan dan demam < 39oC dalam 24 jam terakhir.

–      Gejala berat  : nyeri telinga sedang – berat / demam 39oC.

Diobati dengan antibiotik per-oral, yaitu dengan

Amoxilin, atau penisilin dosis tinggi untuk penderita dewasa.

                  Phenilephrine (dalam obat flu) dapat membuka tuba eustachius.

                  Jika nyeri menetap atau hebat, demam, muntah, atau diare, dan tau jika genang telinga menonjol. Dilakukan miringotomi.

                  Terapi bergantung stadium penyakit.

      1.)    Stadium Oklusi

      Untuk membuka kembai tuba eustachius, agar tekanan di telinga tengah hilang.

      Obat tetes telinga HCl efedrin 0,5% (anak < 12 tahun) atau HCl efedrin 1% dalam fisiologis (anak > 12 tahun dan dewasa). Antibiotik jika penyebabnya kuman.

 

 2.)    Stadium Presupurasi

            Diberikan antibiotik, (golongan penisilin / eritromisin) tetes hidung, analgesik.

                            Miringotomi jika, membran timpani sudah terlihat hiperemis difus.

      Pada anak diberikan ampisilin 4 x 40 mg/ kg BB/ hari, amoxilin 4x40mg/kgBB/hari, atau eritromisin 4 x 40 mg/kg BB/hari.

3.)    Stadium peforasi

                  Obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari dan antibiotik adekuat sampai tiga minggu.

4.)    Stadium Supurasi

                        Selain antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan terjadi ruptus.

                 5.)    Stadium Resolusi

                  Bila tidak terjadi perbaikan/ pemulihan/ kesembuhan berikan antibiotik dilanjutkan sampai 3 minggu.

 

  1. F.     KOMPLIKASI

Sebelum ada antibiotika, otitis media akut dapat menimbulkan komplikasi, yaitu abses subperiosteal sampai komplikasi yang berat (meningtis dan abses otak).

Sekarang setelah ada antibiotika, semua jenis komplikasi itu biasanya didapatkan sebagian komplikasi dari OMSK.

 

 

  1. G.    PENATALAKSANAAN

Terapi bergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran nafas dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sitemik dan antiperetik.

(Arif Masnjoer, Penerbit ; Media Aesculapius, 1999 )

 

 

 

 

  1. H.    PEMERIKSAAN PENUNJANG

a)      Pemeriksaan dengan atoskop (alat untuk memeriksa liang-liang gendang telinga dengan jelas).

b)      Melihat ada tidaknya gendang telinga yang menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan / agak kuning dan suram, serta cairan di liang telinga.

c)      Otoskopi pneumatik (pemeriksaan telinga dengan otoskop untuk melihat gendang telinga yang dilengkapi dengan udara kecil). Untuk menilai respon gendang telinga terhadap perubahan tekanan udara.

Tujuan : untuk melihat berkurangnya atau tidak ada sama sekali gerakan gendang telinga.

Timpanogram è untuk mengukur kesesuaian dan kekuatan membran timpani.

 

Kultur dan uji sensitifitas dilakukan timpano sintesis (aspirasi jarum dari telinga tengah melalui membran timpani).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

ASKEP TEORITIS

  1. A.    PENGKAJIAN

v  Identitas Pasien

Nama, Umur, Alamat, Tempat Tgl. Lahir, Jenis Kelamin, Agama, Suku Bangsa, Pekerjaan, Pendidikan, Status Perkawinan, Tanggal Masuk dan Nomor Identitas.

v  Riwayat Keperawatan / Kesehatan

–          Keluhan Utama

Biasanya klien mengeluh nyeri di dalam telinga.

–          Riwayat Kesehatan / Keperawatan Sekarang

Biasanya klien merasa nyeri didalam telinga, gangguan pendengaran berupa rasa penuh ditelinga dan suhu tubuh tinggi.

–          Riwayat Kesehatan / Keperawatan Yang Lalu

Biasanya klien mengalami mengalami penyakit pilek dan batuk.

v  Pola Kebiasaan

–           Pola Nutrisi

Biasanya klien mengalami penurunan nafsu makan

–          Pola Istirahat dan Tidur.

Biasanya istirahat dan tidur klien terganggu karena merasakan nyeri.

–          Pola Aktivitas

Biasanya pola aktivitas klien terganggu karena merasakan nyeri.

v  Pemeriksaan Fisik

–          Pemeriksaan Umum

–          Keadaan umum lemah

–          Tingkat Kesadaran pasien sadar.

 

 

v  Tanda-Tanda Vital

TD              :     Biasanya menurun

Suhu           :     Biasanya meningkat

RR              :     Biasanya normal

Nadi            :     –

 

v  Pemeriksaan Khusus

–          Inspeksi

K/U lemah, suhu demam

–          Palpasi

–          Perkusi

Biasanya ketukan pada telinga nyeri

–          Auskultasi

 

 

  1. B.     DIAGNOSA
  2. 1.   Gangguan berkomunikasi berhubungan dengan efek kehilangan pendengaran.

Tujuan :  Gangguan komunikasi berkurang / hilang.

Kriteria hasil : Klien akan memakai alat bantu dengar (jika sesuai).

Menerima pesan melalui metoda pilihan (misal : komunikasi tulisan, bahasa lambang, berbicara dengan jelas pada telinga yang baik.

 

Intervensi Keperawatan :

v  Dapatkan apa metode komunikasi yang dinginkan dan catat pada rencana perawatan metode yang digunakan oleh staf dan klien, seperti :

–          Tulisan

–          Berbicara

–          Bahasa isyarat.

v  Kaji kemampuan untuk menerima pesan secara verbal.

–          Jika ia dapat mendegar pada satu telinga, berbicara dengan perlahan dan dengan jelas langsung ke telinga yang baik (hal ini lebih baik daripada berbicara dengan keras).

–          empatkan klien dengan telinga yang baik berhadapan dengan pintu.

–          Dekati klien dari sisi telinga yang baik.

–          Jika klien dapat membaca ucapan :

–          Lihat langsung pada klien dan bicaralah lambat dan jelas.

–          Hindari berdiri di depan cahaya karena dapat menyebabkan klien tidak dapat membaca bibi anda.

–          Perkecil distraksi yang dapat menghambat konsentrasi klien.

–          Minimalkan percakapan  jika klien kelelahan atau gunakan komunikasi tertulis.

–          Tegaskan komunikasi penting dengan menuliskannya.

–          Jika ia hanya mampu bahasa isyarat, sediakan penerjemah. Alamatkan semua komunikasi pada klien, tidak kepada penerjemah. Jadi seolah-olah perawat sendiri yang langsung berbicara kepada klien dnegan mengabaikan keberadaan penerjemah.

v  Gunakan faktor-faktor yang meningkatkan pendengaran dan pemahaman.

–          Bicara dengan jelas, menghadap individu.

–          Ulangi jika klien tidak memahami seluruh isi pembicaraan.

–          Gunakan rabaan dan isyarat untuk meningkatkan komunikasi.

–          Validasi pemahaman individu dengan mengajukan pertanyaan yang memerlukan jawaban lebih dari ya dan tidak.

 

Rasional :

a)      Dengan mengetahui metode komunikasi yang diinginkan oleh klien maka metode yang akan digunakan dapat disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan klien.

b)      Pesan yang ingin disampaikan oleh perawat kepada klien dapat diterima dengan baik oleh klien.

c)      Memungkinkan komunikasi dua arah anatara perawat dengan klien dapat berjalan dnegan baik dan klien dapat menerima pesan perawat secara tepat.

 

  1. 2.    Perubahan persepsi/sensoris berhubungan dnegan obstruksi, infeksi di telinga tengah atau kerusakan di syaraf pendengaran.

Tujuan :   Persepsi / sensoris baik.

Kriteria hasil.

Klien akan mengalami peningkatan persepsi/sensoris pendengaran samapi pada tingkat fungsional.

 

Intervensi Keperawatan :

v  Ajarkan klien untuk menggunakan dan merawat alat pendengaran secara tepat.

v  Instruksikan klien untuk menggunakan teknik-teknik yang aman sehingga dapat mencegah terjadinya ketulian lebih jauh.

v  Observasi tanda-tanda awal kehilangan pendengaran yang lanjut.

v  Instruksikan klien untuk menghabiskan seluruh dosis antibiotik yang diresepkan (baik itu antibiotik sistemik maupun lokal).

 

  1. C.    Rasional :

a)      Keefektifan alat pendengaran tergantung pada tipe gangguan/ketulian, pemakaian serta perawatannya yang tepat.

b)       Apabila penyebab pokok ketulian tidak progresif, maka pendengaran yang tersisa sensitif terhadap trauma dan infeksi sehingga harus dilindungi.

c)      Diagnosa dini terhadap keadaan  telinga atau terhadap masalah-masalah  pendengaran rusak secara permanen.

d)      Penghentian terapi antibiotika sebelum waktunya dapat menyebabkan organisme sisa berkembang biak sehingga infeksi akan berlanjut.

 

  1. Cemas berhubuangan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya fungsi, kemungkinan penurunan pendengaran lebih besar setelah operasi.

Tujuan :  Rasa cemas klien akan berkurang/hilang.

Kriteria hasil :

–          Klien mampu mengungkapkan ketakutan/kekuatirannya.

–          Respon klien tampak tersenyum.

 

Intervensi  Keperawatan :

v  Jujur kepada klien ketika mendiskusikan mengenai kemungkinan kemajuan dari fungsi pendengarannya untuk mempertahankan harapan klien dalam berkomunikasi.

v  Berikan informasi mengenai kelompok yang juga pernah mengalami gangguan seperti yang dialami klien untuk memberikan dukungan kepada klien.

v  Berikan informasi mengenai sumber-sumber dan alat-lat yang tersedia yang dapat membantu klien.

 

Rasional :

a)      Menunjukkan kepada klien bahwa dia dapat berkomunikasi dengan efektif tanpa menggunakan alat khusus, sehingga dapat mengurangi rasa cemasnya.

b)      Harapan-harapan yang tidak realistik tiak dapat mengurangi kecemasan,  justru malah menimbulkan ketidak percayaan klien terhadap perawat.

c)      Memungkinkan klien untuk memilih metode komunikasi yang paling tepat untuk kehidupannya sehari-hari disesuaikan dnegan tingkat keterampilannya sehingga dapat mengurangi rasa cemas dan frustasinya.

d)      Dukungan dari bebarapa orang yang memiliki pengalaman yang sama akan sangat membantu klien.

e)       Agar klien menyadari sumber-sumber apa saja yang ada disekitarnya yang dapat mendukung dia untuk berkomunikasi.

 

 

Dipublikasi di Tak Berkategori | Meninggalkan komentar

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DIARE

BAB I

Pendahuluan

1.1.  Latar Belakang

Di Indonesia, angka kematian bayi akibat diare masih cukup tinggi. Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001, diare merupakan penyebab nomor tiga kematian pada bayi, setelah gangguan perinatal dan penyakit sistem pernapasan sedangkan pada balita, diare merupakan penyebab kematian nomor dua setelah penyakit sistem pernapasan (Tin Afifah dkk,2003).

Terjadinya diare disebabkan oleh berbagai faktor yang berkaitan satu sama lain, antara lain faktor lingkungan, gizi, kependudukan, keadaan sosial ekonomi, dan faktoe perilaku masyarakat. Penatalaksanaan yang efektif dan rasional dapat memperkecil angka kematian penderita diare dengan harapan tumbuh kembang yang optimal.

1.2.  Ruang lingkup

Dalam makalah ini mungkin tidak begitu lengkap penjelasan mengenai patofisiologi diare. Namun, penulis lebih menitikberatkan pada asuhan keperawatan pada anak dengan diare.

1.3.  Tujuan

1.3.1.   Tujuan Umum

Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada anak dengan diare.

1.3.2.   Tujuan Khusus

1.    Untuk mengetahui defenisi, etiologi, manifestasi klinis dan penatalaksanaan diare.

2.    Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada anak dengan diare yang mencakup pengkajian, diagnosa dan intervensi keperawatan.

3.    Untuk memenuhi salah satu tugas kelompok pada mata ajar keperawatan anak.

 

 

BAB II

Tinjauan Teoritis

2.1. Defenisi Diare

Diare adalah kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi satu kali atau lebih buang air besar dengan bentuk tinja yang encer atau cair. (Suriadi,Rita Yuliani,  2001).

Diare didefinisikan sebagai buang air besar lembek atau cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (3 kali atau lebih dalam sehari) (Depkes RI Ditjen PPM dan PLP, 2002).

Diare merupakan salah satu penyakit yang paling banyak terjadi pada masa kanak-kanak, didefenisikan sebagai peningkatan dalam frekuensi, konsistensi, dan volume dari feces (Mc.Kinney, Emily Stone et al, 2000).

2.2. Jenis Diare

Ada beberapa jenis diare, yaitu:

1.         Diare cair akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang dari 7 hari) dengan pengeluaran tinja yang lunak atau cair yang sering dan tanpa darah, mungkin disertai muntah dan panas. Akibat diare akut adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi merupakan penyebab utama kematian bagi penderita diare.

2.         Disentri, yaitu diare yang disertai darah dengan atau tanpa lendir dalam tinjanya. Akibat disentri adalah anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, kerusakan mukosa usus karena bakteri invasif.

3.         Diare persisten, yaitu diare yang mula-mula bersifat akut namun berlangsung lebih dari 14 hari. Episode ini dapat dimulai sebagai diare cair atau disentri. Akibat diare persisten adalah penurunan berat badan dan gangguan metabolisme.

4.         Diare dengan masalah lain. Anak yang menderita diare (diare akut dan persisten) mungkin juga disertai dengan penyakit lain seperti demam, gangguan gizi, atau penyakit lainnya. Tatalaksana penderita diare ini berdasarkan acuan baku diare dan tergantung juga pada penyakit yang menyertainya.

2.3. Etiologi Diare

Diare dapat disebabkan oleh faktor infeksi , malabsorpsi (gangguan penyerapan zat gizi), makanan, dan faktor psikologis.

1.    Faktor infeksi

a.    Infeksi enteral, yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare pada anak. Infeksi enteral ini meliputi:

Ø Infeksi bakteri: Vibrio, E.Coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Aeromonas, dll.

Ø Infeksi Virus: Enterovirus, Adenovirus, Rotavirus, Astovirus, dll.

Ø Infeksi parasit: Cacing (Ascaris, Trichiuris, Oxyuris), Protozoa (entamoeba histolitika, giardia lamblia), jamur (candida albicans).

b.    Infeksi parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan, seperti OMA, tonsilofaringitis, bronkopneumonia, ensefalitis, dsb.

2.    Faktor malabsorpsi

a.    Malabsorpsi karbohidrat

b.    Malabsorpsi lemak

c.    Malabsorpsi protein

3.    Faktor makanan

Makanan yang menyebabkan diare adalah makanan yang tercemar, basi, beracun, terlalu banyak lemak, mentah (misal, sayuran), dan kurang matang.

4.    Faktor psikologis

Rasa takut, cemas dan tegang, jika terjadi pada anak akan menyebabkan diare kronis.

 

 

 

 

2.4. WOC

 

 

Faktor infeksi            Faktor malabsorbsi               Gangguan motilitas usus                             psikogenik (cemas, takut, tegang)

 
   

 

 

Endotoksin                Tekanan osmotik ↑       Hiperperistaltik    Hipoperistaltik                   stimulasi sistem srf simpatis ↑↑

               
               

 

 

Iritasi mukosa                   Pergeseran cairan        Makanan tidak     makanan menumpuk dlm usus      motilitas &sekresi mkus ↑

 ddg usus                            dan elektrolit ke         sempat diserap                                                                              

                                         lumen usus                                                 

sekresi cairan & e ↑                                                                        pertumbuhan bakteri  ↑

  

                                                                                                               toksin ↑

                                                                                                                 

                                                 Isi lumen usus ↑

                                                    

                                 Dy tmpung air d kolon tdk memadai (hny s/ 6L/hari)

       
   
 
     

 

 

                                          Motilitas ddg usus ↑↑

                                                                     

 

Krg penget.

 

                                                  Rgsg defekasi

                                                        

                                                     Diare

 

 ggn keseimbangan    elektrolit     

 

 Ggn keseimbangan cairan                                                                 ggn penyimpanan glikogen dlm hati & ggn absorbsi glukosa

       
 

Krg vol.cairan/

dehidrasi

 

 

ggn pemenuhan nutrisi :                                                                                                                                                                    krg dr kbthn tubuh

 

 

 

 

                                                                                                                                          hipoglikemia               

                                                                penurunan klorida serum                

             syok hipovolemik                            Hiponatremia   

                                                                      hipokalemia

           Perfusi jar. Berkrg                          MK:(Hipotensi postural, kulit dingin,  tremor                               MK: pnurunan BB, an                          

                                                                                                                                                      kejang, peka rangsang, denyut  jantung cepat                              orexia ,pusing                                  

                  Hipoksia                                            dan lemah)

 

      Asidosis metabolik                                         

MK: Pusing, lemah, letih, sinkope, anoreksia,        

        mual, muntah, haus, oliguri, turgor kulit

        kurang, mukosa mulut kering, mata dan    

        ubun-ubun cekung, p↑ suhu  tubuh, penurunan BB                           

 

 

 

 

2.5. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala anak yang menderita diare, yaitu:

1.    Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah

2.    Suhu tubuh meninggi

3.    Feces encer, berlendir atau berdarah

4.    Warna feces kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu

5.    Anus lecet

6.    muntah sebelum dan sesudah diare

7.    Gangguan gizi akibat intake makanan kurang

8.    Terdapat tanda dan gejala dehidrasi, yaitu penurunan berat badan, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun besar cekung, membran mukosa kering.

 

2.6. Komplikasi

Sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak, dapat terjadi berbagai macam komplikasi, seperti:

1.        Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonic, hipertonik)

2.        Renjatan hipovolemik

3.        Hipokalemia

4.        Hipoglikemia

5.        Intoleransi laktosa sekunder

6.        Kejang, terutama pada dehidrasi hipertonik

7.        Malnutrisi energi protein

 

2.7. Penatalaksanaan

Secara umum penatalaksanaan diare akut ditujukan untuk mencegah dan mengobati dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit, malabsorpsi akibat kerusakan mukosa usus, penyebab diare yang spesifik, gangguan gizi serta mengobati penyakit penyerta. Untuk memperoleh hasil yang baik pengobatan harus rasional.

 

            2.7.1. Pemberian cairan pada diare dehidrasi murni

1.        Jenis cairan

a)    Cairan rehidrasi oral

ü Formula lengkap, mengandung NaCl, NaHCO3, KCl, dan Glukosa

ü Formula sederhana, hanya mengandung NaCl dan sukrosa atau karbohidrat lain.

b)    Cairan parenteral

2.      Jalan pemberian cairan

a)    Peroral untuk dehidrasi ringan, sedang dan tanpa dehidrasi dan bila anak mau minum serta kesadaran baik.

b)   Intragastrik untuk dehidrasi ringan, sedang atau tanpa dehidrasi, tetapi anak tidak mau minum, atau kesadaran menurun.

c)    Intravena untuk dehidrasi berat.

3.      Jum;ah cairan

Jumlah cairan yang hilang didasarkan pada berat badan dan usia anak

4.        Jadwal pemberian cairan

a)   Belum ada dehidrasi

  • Oral: 1 gelas setiap kali anak buang air besar
  • Parenteral dibagi rata dalam 24 jam

b)   Dehidrasi ringan

  • 1 jam pertama: 25-50 ml/kgBB peroral atau intragastrik
  • Selanjutnya: 125 ml/kgBB/hari

c)    Dehidrasi sedang

  • 1 jam pertama: 50-100ml/kgBB peroral atau intragastrik
  • Selanjutnya: 125 ml/kgBB/hari

d)   Dehidrasi berat

Jadwal pemberian cairan didasarkan pada umur dan BB anak

            2.7.2. Pengobatan dietetik

1.   Untuk anak di bawah 1 tahun dan anak di atas 1 tahun dengan berat badan kurang dari 7 kg, jenis makanannya adalah:

Ø Susu (ASI dan atau susu formula yang mengandung rendah laktosa dan asam lemak tak jenuh)

Ø Makanan setengah padat (bubur susu) atau makanan padat (nasi tim)

Ø Susu khusus, sesuai indikasi kelainan yang ditemukan

2.    Untuk anak di atas 1 tahun dengan berat badan lebih dari 7 kg. Jenis makanannya adalah makanan padat atau makanan cair/ susu sesuai dengan kebiasaan makan di rumah.

            2.7.3 Obat – obatan

Prinsip pengobatan diare adalah menggantikan cairan yang hilang melalui tinja dengan atau tanpa muntah, dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau karbohidrat lain (gula, air tajin, tepung beras, dll)

1.                Obat antisekresi

2.                Obat antispasmolitik

3.                Obat pengeras tinja

4.                Antibiotika, kapan perlu

 

                   

 

 

 BAB III

Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Diare

3.1. Pengkajian

3.1.1. Identitas Anak

Nama, umur, tempat/ tanggal lahir, alamat/ No telp, tingkat pendidikan dll.

3.1.2.   Riwayat Kesehatan Dahulu

–   Riwayat kelahiran ; Panjang Lahir, Berat Badan Lahir Rendah

–   Riwayat Nutrisi ; Mal Nutrisi, KEP, Pola Makan dan Minum, Tipe Susu Formula

–   Riwayat diare ; Berulang, Penyebab

–   Pola Pertumbuhan

–   Riwayat Otitis media dan atau infeksi lainnya

3.1.3. Riwayat Kesehatan Sekarang

– Riwayat Diare : Frekuensi, Penyebab

– Riwayat Tinja : Jumlah, warna, bau, konsistensi, waktu BAB   

– Kaji Intake dan Output

3.1.4. Pengkajian Sistem

a. Pengkajian umum

1) Kesadaran

2) Tanda – tanda vital

Suhu tubuh :   pengukuran suhu melalui mulut (anak > 6 th)

                         Pengukuran axilla (<4 – 6 th)

Nadi : kuat, lemah, teratur/ tidak.

Nafas : kedalaman, irama, teratur/ tidak

TD : Sistolik/ diastolik, tekanan nadi

3) TB / BB

4) Lingkar kepala

5) Lingkar Dada

b. Pengkajian fisik

1) Kepala

Higiene kepala

Ubun-ubun cekung

2) Mata

Palpebra : cekung/ tidak

Konjungtiva : anemis/tidak

Sklera : ikterik/tidak

3) Hidung

     Sianosis, epistaksis

4) Mulut

    Membran mukosa : pink, kering

5) Telinga

    Apakah ada infeksi/ tidak

6) Sistem kardiovaskuler

    Nadi apeks : irama teratur/ tidak

    Nadi perifer : irama teratur/ tidak

    Bunyi jantung : murni/ bising

    Kulit : pucat/ sianosis

7) Sistem pernapasan

    Frekuensi napas

 Bunyi napas : murni/ bising

 Kedalaman, Pola napas

                     8) Sistem persarafan

                         Tingkat kesadaran

                         Pola tingkah laku

                         Fungsi pergerakan : ketahanan, paralysis

                         Fungsi sensori : Rf fisiologis, Rf patologis

 

                    9) Sistem musculoskeletal

                         Gaya berjalan

                         Persendian

                         Kesimetrisan

                  10) Sistem pencernaan

                         Bising usus : ada/ tidak, frekuensi

                         Distensi abdomen : ada/tidak

                         Mual/ muntah

                   11) Sistem eliminasi ( BAB dan BAK )

                         Frekuensi, konsistensi, bau, warna

3.1.5. Faktor Psikososial

           – Tahap perkembangan anak, kebiasaan di rumah

           – Metode koping orangtua dan anak

           – Interaksi orangtua dan anak

3.1.6. Pengkajian Keluarga

           – Jumlah anggota keluarga

           – Pola komunikasi

           – Pola interaksi

           – Pendidikan dan pekerjaan

           – Kebudayaan dan keyakinan

           – Fungsi keluarga

3.1.7. Pemeriksaan Laboratorium

          – Pemeriksaan tinja : makroskopis dan mikroskopis, pH, kadar gula

          – Keseimbangan asam basa dalam darah

          – Kadar ureum dan kreatinin ( mengetahui faal ginjal)

– Elektrolit : Na, K, Ca, F, dalam serum (terutama diare yang disertai kejang)

– Intubasi duodenum ( mengetahui jenis parasit)

 

 

3.2. Diagnosa Keperawatan 1

Kurang volume cairan b.d seringnya buang air besar dan encer

Tujuan

Keseimbangan cairan dapat dipertahankan dalam batas normal yang ditandai dengan:

1)   Pengeluaran urin sesuai

2)   Pengisian kembali kapiler kurang dari 2 detik

3)   Turgor kulit elastis

4)   Membran mukusa lembab

5)   Berat badan tidak menunjukkan penurunan

 

Intervensi

Rasional

Mandiri

1.    Kaji status hidrasi

 

2.    Kaji pemasukan dan pengeluaran cairan

3.    Monitor tanda-tanda vital

 

 

 

Kolaborasi

4.    Pemeriksaan laboratorium sesuai program; elektrolit, Ht, pH, serum albumin

5.    Pemberian cairan dan elektrolit sesuai protokol (dengan oralit dan cairan parenteral)

6.    Pemberian obat sesuai indikasi

Antidiare

     Antibiotik

 

1.    Indikator langsung status cairan/ perbaikan ketidakseimbangan

2.    Menunjukkan status hidrasi keseluruhan

3.    Membantu dalam evaluasi derajat defisit cairan/ keefektifan penggantian terapi cairan dan respon terhadap pengobatan

 

4.    memberikan informasi tentang hidrasi, fungsi organ

 

5.    Mengisi/ mempertahankan volume sirkulasi dan keseimbangan elektrolit

 

Menurunkan kehilangan cairan

Mengobati infeksi supuratif lokal

3.3. Diagnosa Keperawatan 2

Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d menurunnya intake dan menurunnya absorpsi makanan dan cairan

Tujuan

Anak akan toleran dengan diit yang sesuai yang ditandai dengan:

1)             Berat badan dalam batas normal

2)             Tidak terjadi kekambuhan diare

 

Intervensi

Rasional

Mandiri

1.    Timbang berat badan anak setiap hari

 

2.    Monitor pemasukan dan pengeluaran

 

3.    Setelah rehidrasi, berikan minuman oral dengan sering dan makanan yang sesuai dengan diit dan usia dan atau berat badan anak

4.    Lakukan kebersihan mulut setiap habis makan

5.    Bagi bayi, ASI tetap diteruskan

 

 

6.    Bila bayi tidak toleran terhadap ASI, berikan susu formula yang rendah laktosa

 

1.    Memberikan informasi tentang diit dan keefektifan terapi

2.    Memberikan informasi tentang kebutuhan pemasukan/ defisiensi

3.    Diit yang tepat penting untuk penyembuhan

 

 

4.    Mulut yang bersih dapat meningkatkan rasa makan

5.    Mencegah berkurangnya berat badan lebih lanjut dan mempercepat penyembuhan

6.    Mengurangi malnutrisi

 

 

 

 

3.4. Diagnosa Keperawatan 3

Kerusakan integritas kulit b.d kurang pengetahuan

Tujuan

Orangtua dapat berpartisipasi dalam perawatan anak

 

Intervensi

Rasional

Mandiri

1.    Kaji tingkat pemahaman orangtua

 

 

 

2.    Jelaskan tentang penyakit, pengobatan dan perawatan

 

 

 

 

3.    Jelaskan tentang pentingnya kebersihan (misal, cuci tangan)

 

4.    Ajarkan tentang prinsip diit dan kontrol diare

 

1.    Hal ini mempengaruhi orangtua untuk menguasai tugas dan melakukan tanggung jawab perawatan

2.    Memberikan dasar pengetahuan dimana orangtua dapat membuat pilihan berdasarkan informasi. Komunikasi efektif dan dukungan turunkan cemas dan tingkatkan penyembuhan

3.    Menurunkan penyebaran bakteri dan resiko infeksi serta iritasi kulit dan jaringan

4.    Diit yang tepat penting dalam penyembuhan

BAB IV

Penutup

 

           Kesimpulan

Diare merupakan salah satu penyakit utama pada bayi dan anak di Indonesia. Penanganan diare sangat ditekankan pada pemeliharaan dan penggantian kehilangan cairan dan elektrolit yang akan menyebabkan berbagai macam komplikasi yang dapat berujung pada kematian.

 

           Saran

Usaha pencegahan dan penatalaksanaan diare yang tepat sangat diperlukan untuk mengurangi angka kesakitan dan angka kematian akibat diare dan komplikasi yang ditimbulkannya

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Departemen Kesehatan RI. (2000). Buku Ajar Diare. Jakarta: Depkes RI Ditjen PPM dan PLP.

 

Doenges,ME, et all. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan; Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Ed.3. Jakarta:EGC.

 

M.C.Widjaya. (2002). Mengatasi Diare dan Keracunan pada Balita. Jakarta: Kawan Pustaka

 

Subijanto.M.S, et all. (2003). Manajemen Diare pada Bayi dan Anak. Jurnal hal 506. Buletin IKA. Surabaya: Bagian IKA FK Unair/ RSUD dr. Soetomo Surabaya bekerja sama dengan Yayasan Penyelenggara Informasi Pediatri.

 

Staf Pengajar IKA FK UI. (2000). Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 1. Jakarta: Bagian IKA FK UI.

 

Suriadi, S.Kp.,Rita Yuliani,S.Kp., (2001). Asuhan Keperawatan pada Anak. Ed.1. Jakarta: P.T. Fajar Intrapratama.

 

Tin Afifah, Srimawar Djaja, Joko Irianto. (2003). Kecendrungan Penyakit Penyebab Kematian Bayi dan Anak Balita di Indonesia 1992-2001 dalam Buletin Penelitian Kesehatan. Vol 31. No2. Jakarta: Depkes RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

 

Dipublikasi di Tak Berkategori | Meninggalkan komentar

ASUHAN KEPERAWATAN LABIRINITIS PADA TELINGA

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. I.       LATAR BELAKANG

Labirinitis pada dasarnya dikenal dua macam dan dengan gejala yang berbeda, labirinitis mengenai seluruh bagian labirin disebut dengan labirinitis umum ( general ), dengan gejala vertigo berat dan tuli saraf berat, kemudian yang mengenai hanya sebagian atau terbatass disebut labinitis terbatas ( labirinitis sirkumskripta) menyebabkan terjadinya vertigo saja atau tuli saja.

Deperkirakan penyebab albirinitis yang saling sering di absorbsi produk bakteri di telinga dan mastoid ke dalam labirin, dibentuk ringan labirinitis srcara selalu terjadi pada operasi telinga pada misalnya pada operasi fenestrasi, terjadi singkat dan biasnya tidak menyebabkan gangugan pendengaran, kelainan patologik seperti inflamasi non porulen.

 

  1. II.    TUJUAN
  2. Tujuan umum

Untuk mendapatkan gambaran asuhan keperawatan pada system pendenggaran sehingga apabila menemui pasien dengan penyakit labirinitis ini, kita bias melakukan  dan memberikan asuhan keperawatan padanya.

  1. Tujuan kusus

Setelah melakukan penelitian dan pembelajaran tentang kemasukan benda asing pada telinga. Maka mahasiswa/i diharapkan mampu :

ü  Mampu Melakukan pengkajian keperawatan pada klien dengan labirinitis pada telinga.

ü  Mampu menentukan diagnosa keperawatan pada klien dengan labirinitis pada telinga.

ü  Mampu Melakukan intervensi keperawatan pada klien dengan labirinitis pada telinga.

ü  Mampu Melakukan implementasi keperawatan pada klien dengan labirinitis pada telinga.

ü  Mampu menentukan evaluasi keperawatan pada klien dengan labirinitis pada telinga.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

  1. A.    DEFINISI

Labirinitis adalah infeksi pada telinga dalam (labirin) yang disebabkan oleh bakteri atau virus.

Labirinitis adalah radang pada telinga dalam (labirin). Labirinitis yang mengenai seluruh bagian labirin, disebut labirinitis umum atau difus dengan gejala vertigo berat dan tuli saraf yang berat, sedangkan labirinitis yang terbatas atau labirinitis sirkumskripta menyebabkan terjadinya vertigo saja atau tuli saraf saja.

Labirinitis merupakan komplikasi intratemporal yang paling sering dari radang telinga tengah.

Labirinitis adalah infeksi pada teling dalam, yang disebabkan oleh bakteri atau virus, yang mana dapat terjadi karena komplikasi otitis media, meningitis, ISP dan setelah infeksi telinga tengah.

Labirinitis dapat disebabkan oleh virus, bacterial,zat-zat toksik dan obat-obatan. Labirinitis yang di sebabkan oleh bakterial terdapat dalam dua bentuk labirinitis, yaitu labirinitis serosa dan labirinitis supuratif. Labirinitis serosa dapat berbentuk labirinitis serosa difus dan labirinitis serosa sirkumskripta. Labirinitis supuratif dibagi dalam labirinitis supuratif akut difus dan labirinitis supuratif kronik difusi.


B.  ETIOLOGI

Infeksi bakteri yang disebabkan otitis media, atau kolesteatoma, dapat memasuki telinga tengah dengan menembus membrane jendela bulat atau oval. Labirintitis viral merupakan diagnosis medis yang sering, namun hanya sedikit yang diketahui mengenai kelainan ini, yang mempengaruhi baik keseimbangan maupun pendengaran. Virus penyebab yang paling sering teridentifikasi adalah gondongan, rubella, rubeola, dan influenza.

Secara etiologi labirintis terjadi karena penyebaran infeksi ke ruang perlimfa. Terdapat 2 bentuk labirinitis. Yaitu labiribnitis serosa dean labirinitis supuratif. Labirinitis serosa dapat berbentuk labirinitis serosa difus dan labirinitis supuratif kronik difus.

Pada labirinitis serosa taksin menyebabkan disfungsi labirin tanpa invasi sel radang, sedangkan pada labirin supuratif dengan invasi sel radang ke labirin. Sehingga terjadi kerusakan yang lereversibel. Seperti fibrosa dan osifikasi. Pada kedua jenis labirinitis tersebut operasi harus segera dilakukan untuk menghilangkan infeksi dari telinga tengah. Kadang – kadang diperlukan juga draifase nanah dari labirin untuk mencegah terjadinya meningitis. Pemberian antibiotika yang adekuat terutama ditujukan pada pengobatan otitis media kronik.

Labirinitis serosa difus sering kali terjadi sekunder dari labirinitis sirkumskrifta oleh pada terjadi primer pada otitis media akut. Masuknya toksin oleh bakteri melalui tingkap bulat, tingkap lontong untuk melalui erosi tulang labirin. Infeksi tersebut mencapai endosteum melalui seluruh darah.
Diperkirakan penyebab labirinitis yang paling sering absorbsi produk bakteri di telinga dan mastoid ke dalam labirin, dibentuk ringan labirinitis serosa selalu terjadi pada operasi telinga dalam misalnya pada operasi fenestrasi, terjadi singkat dan biasanya tidak menyebabkan gangguan pendengaran, kelainan patologiknya seperti inflamasi non purulen labirin.

 

 

C. KLASIFIKASI

  1. Labirinitis yang mengenai seluruh bagian labirin, disebut labirinitis umum ( general ), dengan gejala fertigo berat dan tuli saraf berat, sedangkan labirinitis yang terbatas ( labirinitis sirkumskripta ) menyebabkan terjadinya vertigo saja / tuli saraf saja.
  2. Labirinitis terjadinya oleh karena penyebaran infeksi ke ruang perlimfa. Terdapat dua bentuk labirinitis yaitu labirinitis serosa dan labirinitis supuratif. Labirinitis serosa dapat berbentuk labirinitis serosa difus dan labirinitis serosa sirkumskripta. Labirinitis supuratif dibagi dalam bentuk labirinitis supuratif akut difus dan labirinitis supuratif kronik difus.
  3. Labirinitis serosa toksin menyebabkan disfungsi labirin tanpa invasi sel radang, sedangkan pada labirinitis supuratif, sel radang menginvasi labirin, sehingga terjadi kerusakan yang ireversibel, seperti fibrosis dan osifikasi.

 

Pada kedua bentuk labirinitis itu operasi harus segera dilakukan untuk menghilangkan infeksi dari telinga tengah. Kadang – kadang diperlukan juga drenase nanah dari labirin untuk mencegah terjadinya meningitis. Pemberian antibiotika yang adekuat terutama ditujukan kepada pengobatan otitis media kronik dengan atau tanpa kolesteatoma.


D.   MANIFESTASI KLINIS

1)      vertigo yang melumpuhkan

2)      mual dan muntah

3)      kehilangan pendengaran derajat tertentu

4)      tinnitus.

Episode pertama biasanya serangan mendadak paling berat, yang biasanya terjadi selama periode beberapa minggu sampai bulan, yang lebih ringan.

Pengobatan untuk labirintitis balterial meliputi terapi antibiotika intravena, penggantian cairan, dan pemberian supresan vestibuler maupun obat anti muntah. Pengobatan labirintitis viral adalah sintomatik dengan menggunakan obatantimuntah dan antivertigo.

Gejala dan tanda :

Terjadi tuli total disisi yang sakit, vertigo ringan nistagmus spontan biasanya kea rah telinga yang sehat dapat menetap sampai beberapa bulan atau sampai sisa labirin yang berfungsi dapat menkompensasinya. Tes kalori tidak menimbulkan respons disisi yang sakit dan tes fistulapur negatif walaupun dapat fistula

E. PATOFISIOLOGI

Kira – kira akhir minggu setelah serangan akut telinga dalam hampir seluruhnya terisi untuk jaringan gramulasi, beberapa area infeksi tetap ada. Jaringan gramulasi secara bertahap berubah menjadi jaringan ikat dengan permulaan. Pembentukan tulang baru dapat mengisi penuh ruangan labirin dalam 6 bulan sampai beberapa tahun pada 50 % kasus.

 

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Fistula dilabirin dapat diketahui dengan testula, yaitu dengan memberikan tekanan udara positif ataupun nrgatif ke liang telinga melalui otoskop siesel dengan corong telinga yang kedap atau balon karet dengan bentuk elips pada ujungnya yang di masukan ke dalam liang telinga. Balon karet di pencet dan udara di dalamnya akana menyebabkan perubahan tekanan udara di liang telinga. Bila fistula yang terjadi masih paten maka akan terjadi kompresi dan ekspansi labirin membrane. Tes fistula positif akan menimbulkan ristamus atau vertigo. Tes fistula bisa negatif, bila fistulanya bisa tertutup oleh jaringan granulasi atau bila labirin sudah mati atau paresis kanal.

Pemeriksaan radiologik tomografi atau CT Scan yang baik kadang – kadang dapat memperlihatkan fistula labirin, yang biasanya ditemukan dikanalis semisirkularis horizontal.
Pada fistula labirin / labirintis, operasi harus segera dilakukan untuk menghilangkan infeksi dan menutup fistula, sehingga fungsi telinga dalam dapat pulih kembali. Tindakan bedah harus adekuat untuk mengontrol penyakit primer. Matriks kolesteatom dan jaringan granulasi harus diangkat dari fistula sampai bersih dan didaerah tersebut harus segera ditutup dengan jaringan ikat / sekeping tulang / tulang rawan.

G. PENATALAKSANAAN

Terapi local harus ditujukan kesetiap infeksi yang mungkin ada, diagnosa bedah untuk eksenterasi labirin tidak diindikasikan, kecuali suatu focus dilabirin untuk daerah perilabirin telah menjalar untuk dicurigai menyebar ke struktur intrakronial dan tidak memberi respons terhadap terapi antibiotika bila dicurigai ada focus infeksi di labirin atau di ospretosus dapat dilakukan drerase labirin dengan salah satu operasi labirin setiap skuestrum yang lepas harus dibuang, harus dihindari terjadinya trauma NUA. Bila saraf fosial lumpuh, maka harus dilakukan dengan kompresi saraf tersebut. Bila dilakukan operasi tulang temporal maka harus diberikan antibiotika sebelum dan sesudah operasi.

  1. H.  KOMPLIKASI

1.Tuli total

2.meningitis.

 

  1. I.       W O C

                                                                  laringitis

 

Akibat dari komplikasi maningitis                                                       akibat dari otitismedia /

                                                                                                                              kolestateoma

                                                          Infeksi berkembang

 

 

Mengores telinga pendengaran                                                                 bakteri masuk ke telinga tengah

Masuk ke kanalis aiditiorus                                                     menembus jendela bulat/ oval

 

 

Menggesek pada stuktur  membran

Manifestasinya : vertigo, pendengaran berkurang, pendengaran merasa tidak seimbang

BAB III

ASKEP TEORITIS

  1. A.    PENGKAJIAN
  2. identitas klien
  3. riwayat kesehatan
  • keluhan utama       :klien merasa pendengarannya kurang dan sering pusing

Klien mengeluh nyeri pada telinga kanan

  • riwayat kesehatan sekarang          : Klien merasakan mual, muntah, vertigo
  • riwayatkesehatan keluarga            : Penyakit ini tidak diturunkan, melainkan   disebabkan oleh virus danbakteri.
  • Riwayat kesehatan dahulu            : klien tidak ada menderita penyakit ini sebelunnya
  1. Tanda-tanda vital
  • Nadi                                  :  59x/i
  • Td                                      : 100/90 mmhg
  • Pernafasan                         : 16x/i
  • Suhu                                  : 36
  1. Pemeriksaan fisik
  • Rambut     : rambut klien terlihat bersih dan tidak rontok
  • Leher         : tidak ada pembesaran kelenjar limfe
  • Telinga      : Saat pemeriksaan telinga menggunakan otoskop salurantelinga terlihat memerah, saat perawat berbicara di dekatklien, klien hanya diam saja, menandakan bahwa fungsipendengaran klien kurang baik. Saat di palpasi terasasakit pada daun telinga. Kaji vertigo yang meliputiriwayat, awitan, gambaran serangan, durasi, frekwensi,dan adanya gejala telinga yang terkait (kehilanganpendengaran, tinnitus, rasa penuh di telinga).
  • Bibir          : bibir tampak kering
  • Mata          : pergerakan mata diluar kehendak.dan conjungtiva pucat
  • Wajah        :wajah klien terlihat pucat
  • Jantung :

Inspeksi: Terlihat iktus cordis pada dada kiri

Palpasi : Tidak dilakukan palpasi

Perkusi : Tidak dilakukan perkusi

Auskultasi : tidak dilakukan

  • Paru

Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan dan kiri, RR 59 x/menit

Palpasi : tidak dilakukan

Perkusi: Tidak dilakukan perkusi.

Auskultas: Terdapat bunyi stidor pada paru sinistra dan wheezing pada paru dextra.

  • Abdomen  :

Inspeksi: Tidak ada psikatrik, tidak tampak distensi abdomen

Auskultasi: Tidak dilakukan auskultasi

Palpasi : Tidak dilakukan palpasi

Perkusi : Tidak dilakukan perkusi

  • Genetalia   : Bersih, terpasang kateter
  • Rektal        : Bersih.
  • Ekstremitas

Atas           : Bagian kiri lemah, bagian kanan dapat digerakkan

Bawah       : tidak sianosis

  • Aktivitas   :klien tidak dapat mealkukan aktivitas sehari-hari
  • Pola eiminasi         : klien mengatakan tidak ada bab semenjak sakit dan bak 4x sehari
  • Pola metabolic : berat badan klien turun selama sakit karena klien bisa menghabiskan makanan 1 ½ porsi
  • Riwayat psikologi: klien sangat teganggu dengan keadaanya sekarang dan klien snagat memikirkan mengenai penyakitnya.

 

  1. B.     DIAGNOSA       

1)      Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan pengangkatan sebagian atau seluruh glotis, gangguan kemampuan untuk bernapas, batuk dan menelan, serta sekresi banyak dan kental.

2)      Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan defisit anatomi (pengangkatan batang suara).

3)      Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan penekanan serabut syaraf oleh sel-sel tumor

4)      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan saluran pencernaan.(disfagia)

5)      Gangguan citra diri berhubungan dengan kehilangan suara,perubahan anatomi wajah dan leher.

 

C.  INTERVENSI

1)      Dx : Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan pengangkatan sebagian atau seluruh glotis, gangguan kemampuan untuk bernapas, batuk dan menelan, serta sekresi banyak dan kental.

Tujuan :

  • Jalan  nafas kembali normal

Kriteria Hasil

  • Pola napas klien efektif
  • §  Memperlihatkan  kepatenan jalan napas dengan bunyi napas bersih/jelas

Intervensi :

  1. Kaji frekuensi/kedalaman pernapasan catat kemudahan bernafas. Auskultasi bunyi napas. Selidiki kegelisahan,dispea, terjadinya sianosis.

Rasional : Perubahan  pada  pernafasan, penggunaan  otot aksesori pernafasan dan atau adanya ronkhi/mengi diduga ada retensi sekret.

  1. Awasi pasien untuk posisi yang  nyaman, misal : peninggian kepala tempat tidur 30-450.

Rasional : Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi, namun pasien dengan infiltrasi tumor ke trakhea akan mencari posisi yang mudah untuk bernafas.

  1. Bimbing pasien untuk nafas dalam dan batuk efekt.

Rasional : Memobilisasi sekret untuk membersihkan jalan napas dan membantu mencegah komplikasi pernafasan.

  1. Kolaborasi berikan ekspektoran, atau analgesik sesuai indikasi

Rasional : untuk memperbaiki aliran udara. Ekspektoran meningkatkan produksi mukosa untuk mengencerkan dan menurunkan viskositas sekret, memudahkan pembuangan.

  1. Awasi AGD

Rasional :  Menentukan intervensi yang lebih spesifik.

 

2)      Dx 2 : Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan defisit anatomi (pengangkatan batang suara).

Tujuan :

  • §  Kerusakan komunikasi verbal tidak terjadi

kriteria hasil :

  • Pasien/klien mampu mengkomunikasikan kebutuhannya dengan baik.

Intervensi

  1. Kaji kemampuan baca klien.

Rasional : Untuk membuat Perencanaan dan terciptanya cara-cara komunikasi yang baik dan sesuai. Mengembangkan dan meningkatkan komunikasi.

  1. Anjurkan penggunaan komunikasi meliputi kertas dan pensil, papan gambar,    papan tulis, alat    papan komunikasi elektrik atau alat lainnya yang mendukung.

Rasional :Meningkatkan fonasi yang terpengaruh pada pasien dengan ca.laring.

  1. Bantu pasien dengan latihan untuk meningkatkan kualitas suara, nada, dan volume suara.

Rasional : Memberikan metode untuk memanggil dan meminta pertolongan jika diperlukan

  1. Kolaborasi dengan rehabilitasi suara (voice rehabilitation

Rasional : Memberika therapi berbicara/ bersuara sehingga dapat berkomunikasi secara verbal.

 

3)      Dx 3 : Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan penekanan serabut syaraf oleh sel-sel tumor

Tujuan :

  • Kebutuhan rasa aman dan nyaman terpenuhi

Kriteria :

  • Melaporkan pengurangan nyeri

Intervensi :

  1. kaji riwayat nyeri, misal : lokasi nyeri, frekuensi, durasi dan intensitas (skala 1-10) dan tindakan penghilangan yang digunakan

rasional : Informasikan memberikan data dasar untuk mengevaluasi kebutuhan/keefektifan intervensi. Catatan : pengalaman nyeri adalah individu atau digabungkan dengan baik respon fisik dan emosional.

  1. Berikan tindakan kenyamanan dasar,misal : reposisi dan aktivitas hiburan.

Rasional : Meningkatkan relaksasi dan membantu memfokuskan kembali perhatian

  1. Bimbing pasien dalam penggunaan keterampilan manajemen nyeri (misal : teknik relaksasi) tertawa, musik dan sentuhan teraupetik.

Rasional : Memungkinkan pasien untuk berpartisipasi secara aktif dan meningkatkan.

  1. Kembangkan rencana manajemen nyeri dengan pasien dan dokter

Rasional : Rencana terorganisir mengembangkan kesempatan untuk kontrol nyeri terutama nyeri kronis, pasien atau orang terdekat harus aktif menjadi partisipasi dalam manajemen nyeri.

  1. Kolaborasi untuk pemberian analgetik. (mis. Morfin, metadon atau campuran narkotik intravena khusus).

Rasioanal : Nyeri adalah komplikasi sering dari kanker, meskipun respon individual berbeda-beda. Catatan : adiksi/ketergantungan obat bukan masalah.

 

4)      Dx 4 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan saluran pencernaan.(disfagia)

Tujuan :

  • klien akan mempertahankan kebutuhan nutrisi yang tidak adekuat

kriteria hasil :

  • Membuat pilihan diit untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dalam situasi individu, menunjukkan peningkatan BB dan penyembuhan jaringan atau insisi sesuai waktunya

Intervensi :

  1. Timbang BB dan porsi makan.

Rasional : Untuk mengetahui Berat badan pasien.

  1. Pantau masukan makanan setap hari

Rasional : Mengidentifikasi kekuatan /defisiensi nutrisi

  1.  Identifikasi pasien yang mengalami mual/ muntah yang diantisipasi

Rasioanal :  Mual /muntah psikogenik sebelum kemoterapi mulai secara umum tidak berespons terhadap obat anti emetic

  1. Berikan diet nutrisi seimbang (misalnya semikental atau makanan halus) atau makanan selang (contoh makanan dihancurkan atau sediaan yang dijual) sesuai indikasi.

Rasioanl :   macam-macam jenis makanan dapat dibuat untuk tambahan atau batasan faktor tertentu, seperti lemak dan gula atau memberikan makanan yang disediakan pasien.

  1. Kolaborasi : berikan obat-obatan sesuai indikasi. Fenotiazin, mis : Proklorperazin (compazine), tietilperazin (Torecan), anti dopaminergik mis ; metoklorpiamid (regian), dll.

Rasioanal : Kebanyakan anti emetik bekerja untuk mempengaruhi stimulasi pusat muntah sejati dan kemoreseptor mentriger agen zona juga bertindak secara perifer untuk menghambat peristaltik balik

  1. Kolaborasi dengan dokter untuk pemasangan NGT atau infus

Rasioanal  : Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi klien

 

5)      Dx 5 : Gangguan citra diri berhubungan dengan kehilangan suara,perubahan anatomi wajah dan leher.

Tujuan

  • Mengidentifikasi perasaan dan metode koping untuk persepsi negatif pada diri sendiri.

Kriteria hasil

  • menunjukkan adaptasi awal terhadap perubahan tubuh sebagai bukti dengan partisipasi aktivitas perawatan diri dan dapat  berinteraksi positip dengan orang lain.

Intervensi

  1. Berikan kesempatan pada klien untuk mengekspresikan kecemasannya.

Rasional : Untuk mengungkapkan perasaan klien dan mengurangi kecemasan

  1. Diskusikan arti kehilangan atau perubahan dengan pasien, identifikasi persepsi situasi atau harapan yang akan datang.

Rasioanal : Agar klien dapat menerima kenyataan

  1. Catat reaksi emosi, contoh kehilangan, depresi, marah.

Rasional : Untuk mngetahui perubahan emosi klien.

  1. Libatkan orang-orang terdekat seperti orang tua,teman,untuk memberikan support pada klien.

Rasioanal : Untuk memotivasi klien dan mengurangi kecemasan klien

  1. Pendekatan spiritual sesuai dengan agama yang dianut klien.

Rasioanal : Untuk meningkatkan keyakinan pada klien bahwa tuhan akan menyembuhkan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

  1. A.    KESIMPULAN

Labirin ( telinga dalam ) mengandung organ pendengaran dan keseimbangan, terletak  pada pars petrosa os temporal. Labirinitis merupakan inflamasi pada telinga dalam yangdisebabkan oleh bakteri atau virus yang biasanya merupakan komplikasi penyakit telinga tengahatau komplikasi infeksi virus dari berbagai penyakit.

Meskipun data epidemiologi definitif masih kurang, labirinitis virus adalah bentuk palingumum dari labirinitis diamati dalam praktek klinis. Prevalensi SNHL diperkirakan 1 kasus dalam 10.000 orang, sampai dengan 40% dari pasien mengeluh vertigo atau dysequilibrium.

Labirinitis dibagi atas labirinitis lokalisata (labirinitis serosa) dan labirinitis difusa (labirinitissupuratif). Keluhan dari penyakit ini berupa gangguan vestibular, vertigo dan gangguan fungsi pendengaran sensorineural hearing loss.

Gejala yang timbul pada labirinitis lokalisata merupakanhasil dari gangguan fungsi vestibular dan gangguan koklea yaitu terjadinya vertigo dan kurang pendengaran derajat ringan hingga menengah secara tiba-tiba. Pada sebagian besar kasus, gejalaini dapat membaik sendiri sejalan dengan waktu dan kerusakan yang terjadi juga bersifat reversible.Labirinitis biasanya sembuh sendiri dalam waktu satu atau beberapa minggu, tergantung pada tingkat keparahan infeksi. Terapi dengan pengawasan yang ketat dan terus menerus untuk mencegah perluasan penyakit ke intrakranial di samping itu dilakukan tindakan drainase dari labirin.

 

  1. B.     SARAN
  2. Untuk instansi

Untuk pencapaian kualitas keperawatan secara optimal secara optimal sebaiknya proses keperawatan selalu dilaksanakan secara berkesinambungan

b.    Untuk klien dan keluarga                                

Perawatan tidak kalah pentingnya dengan pengobatan karena bagaimanapun teraturnya pengobatan tanpa perawatan yang sempurna maka penyembuhan yang diharapkan tidak tercapai, oleh sebab itu perlu adanya penjelasan pada klien dan keluarga mengenai manfaat serta pentingnya kesehatan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Adams,  Boies Higler. 1997.Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : EGC.Brunner & Suddart. 1996.

 

 Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 vol 1. Jakarta : EGC.Pearce, Evelyn C. 1979.

 

 Anatomi Dan Fisiologi Untuk Para Medis.Jakarta : GramediaPustaka Utama.Price, Sylvia A. 1995.

 

Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit edis 4.Jakarta : EGC.Soepardi, Efiaty Assyad dkk.

 

Telinga Hidung Tenggorok edisi 3. Jakarta. BalaiPenerbit FKUI.Syaifuddin. 1997.Anatomi Fisiologi untuk siswa Perawat edisi 2.Jakarta: EGC

Dipublikasi di Tak Berkategori | Meninggalkan komentar

Peran Perawat Profesional dalam Membangun Citra Perawat Ideal di Mata Masyarakat Peran Perawat Profesional dalam Membangun Citra Perawat Ideal di Mata Masyarakat oleh Rani Setiani Sujana* Menjadi seorang perawat merupakan suatu pilihan hidup bahkan merupakan suatu cita-cita bagi sebagian orang. Namun, adapula orang yang menjadi perawat karena suatu keterpaksaan atau kebetulan, bahkan menjadikan profesi perawat sebagai alternatif terakhir dalam menentukan pilihan hidupnya. Terlepas dari semua itu, perawat merupakan suatu profesi yang mulia. Seorang perawat mengabdikan dirinya untuk menjaga dan merawat klien tanpa membeda-bedakan mereka dari segi apapun. Setiap tindakan dan intervensi yang tepat yang dilakukan oleh seorang perawat, akan sangat berharga bagi nyawa orang lain. Seorang perawat juga mengemban fungsi dan peran yang sangat penting dalam memberikan asuhan keperawatan secara holistik kepada klien. Namun, sudahkah perawat di Indonesia melakukan tugas mulianya tersebut dengan baik? Bagaimanakah citra perawat ideal di mata masyarakat? Perkembangan dunia kesehatan yang semakin pesat kian membuka pengetahuan masyarakat mengenai dunia kesehatan dan keperawatan. Hal ini ditandai dengan banyaknya masyarakat yang mulai menyoroti kinerja tenaga-tenaga kesehatan dan mengkritisi berbagai aspek yang terdapat dalam pelayanan kesehatan. Pengetahuan masyarakat yang semakin meningkat, berpengaruh terhadap meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan keperawatan. Oleh karena itu, citra seorang perawat kian menjadi sorotan. Hal ini tentu saja merupakan tantangan bagi profesi keperawatan dalam mengembangkan profesionalisme selama memberikan pelayanan yang berkualitas agar citra perawat senantiasa baik di mata masyarakat. Menjadi seorang perawat ideal bukanlah suatu hal yang mudah, apalagi untuk membangun citra perawat ideal di mata masyarakat. Hal ini dikarenakan kebanyakan masyarakat telah didekatkan dengan citra perawat yang identik dengan sombong, tidak ramah, genit, tidak pintar seperti dokter dan sebagainya. Seperti itulah kira-kira citra perawat di mata masyarakat yang banyak digambarkan di televisi melalui sinetron-sinetron tidak mendidik. Untuk mengubah citra perawat seperti yang banyak digambarkan masyarakat memang tidak mudah, tapi itu merupakan suatu keharusan bagi semua perawat, terutama seorang perawat profesional. Seorang perawat profesional seharusnya dapat menjadi sosok perawat ideal yang senantiasa menjadi role model bagi perawat vokasional dalam memberikan asuhan keperawatan. Hal ini dikarenakan perawat profesional memiliki pendidikan yang lebih tinggi sehingga ia lebih matang dari segi konsep, teori, dan aplikasi. Namun, hal itu belum menjadi jaminan bagi perawat untuk dapat menjadi perawat yang ideal karena begitu banyak aspek yang harus dimiliki oleh seorang perawat ideal di mata masyarakat. Perawat yang ideal adalah perawat yang baik. Begitulah kebanyakan orang menjawab ketika ditanya mengenai bagaimana sosok perawat ideal di mata mereka. Mungkin kedengarannya sangat sederhana. Namun, di balik semua itu, pernyataan tersebut memiliki makna yang besar. Masyarakat ternyata sangat mengharapkan perawat dapat bersikap baik dalam arti lembut, sabar, penyayang, ramah, sopan dan santun saat memberikan asuhan keperawatan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita memang masih menemukan perilaku kurang baik yang dilakukan oleh seorang perawat terhadap klien saat menjalankan tugasnya di rumah sakit. Hal itu memang sangat disayangkan karena bisa membuat citra perawat menjadi tidak baik di mata masyarakat. Ternyata memang hal-hal seperti itulah yang memunculkan jawaban demikian dari masyarakat. Untuk menjadi perawat ideal di mata masyarakat, diperlukan kompetensi yang baik dalam hal menjalankan peran dan fungsi sebagai perawat. Seorang perawat profesional haruslah mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik. Adapun peran perawat diantaranya ialah pemberi perawatan, pemberi keputusan klinis, pelindung dan advokat klien, manajer kasus, rehabilitator, pemberi kenyamanan, komunikator, penyuluh, dan peran karier. Semua peran tersebut sangatlah berpengaruh dalam membangun citra perawat di masyarakat. Namun, disini saya akan menekankan peran yang menurut saya paling penting dalam membangun citra perawat ideal di mata masyarakat. Peran–peran tersebut diantaranya ialah peran sebagai pemberi perawatan, peran sebagai pemberi kenyaman dan peran sebagai komunikator. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan merupakan peran yang paling utama bagi seorang perawat. Perawat profesional yang dapat memberikan asuhan keperawatan dengan baik dan terampil akan membangun citra keperawatan menjadi lebih baik di mata masyarakat. Saat ini, perawat vokasional memang masih mendominasi praktik keperawatan di rumah sakit maupun di tempat pelayanan kesehatan lainnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa perawat vokasional memiliki kemampuan aplikasi yang baik dalam melakukan praktik keperawatan. Namun, perawat vokasional memiliki pengetahuan teoritis yang lebih terbatas jika dibandingkan dengan perawat profesional. Dengan semakin banyaknya jumlah perawat profesional saat ini, diharapkan dapat melengkapi kompetensi yang dimiliki oleh perawat vokasional. Seorang perawat profesional harus memahami landasan teoritis dalam melakukan praktik keperawatan. Landasan teoritis tersebut akan sangat berguna bagi perawat profesional saat menjelaskan maksud dan tujuan dari asuhan keperawatan yang diberikan secara rasional kepada klien. Hal ini tentu saja akan membawa dampak baik bagi terciptanya citra perawat ideal di mata masyarakat yaitu perawat yang cerdas, terampil dan profesional. Kenyamanan merupakan suatu perasaan subjektif dalam diri manusia. Masyarakat yang menjadi klien dalam asuhan keperawatan akan memiliki kebutuhan yang relatif terhadap rasa nyaman. Mereka mengharapkan perawat dapat memenuhi kebutuhan rasa nyaman mereka. Oleh karena itu, peran perawat sebagai pemberi kenyamanan, merupakan suatu peran yang cukup penting bagi terciptanya suatu citra keperawatan yang baik. Seorang perawat profesional diharapkan mampu menciptakan kenyamanan bagi klien saat klien menjalani perawatan. Perawat profesional juga seharusnya mampu mengidentifikasi kebutuhan yang berbeda-beda dalam diri klien akan rasa nyaman. Kenyamanan yang tercipta akan membantu klien dalam proses penyembuhan, sehingga proses penyembuhan akan lebih cepat. Pemberian rasa nyaman yang diberikan perawat kepada klien dapat berupa sikap atau perilaku yang ditunjukkan dengan sikap peduli, sikap ramah, sikap sopan, dan sikap empati yang ditunjukkan perawat kepada klien pada saat memberikan asuhan keperawatan. Memanggil klien dengan namanya merupakan salah satu bentuk interaksi yang dapat menciptakan kenyamanan bagi klien dalam menjalani perawatan. Klien akan merasa nyaman dan tidak merasa asing di rumah sakit. Perilaku itu juga dapat menciptakan citra perawat yang ideal di mata klien itu sendiri karena klien mendapatkan rasa nyaman seperti apa yang diharapkannya. Peran perawat sebagai komunikator juga sangat berpengaruh terhadap citra perawat di mata masyarakat. Masyarakat sangat mengharapkan perawat dapat menjadi komunikator yang baik. Klien juga manusia yang membutuhkan interaksi pada saat ia menjalani asuhan keperawatan. Interaksi verbal yang dilakukan dengan perawat sedikit banyak akan berpengaruh terhadap peningkatan kesehatan klien. Keperawatan mencakup komunikasi dengan klien dan keluarga, antar-sesama perawat dan profesi kesehatan lainnya, serta sumber informasi dan komunitas. Kualitas komunikasi yang dimiliki oleh seorang perawat merupakan faktor yang menentukan dalam memenuhi kebutuhan individu, keluarga, dan komunitas. Sudah seharusnya seorang perawat profesional memiliki kualitas komunikasi yang baik saat berhadapan dengan klien, keluarga maupun dengan siapa saja yang membutuhkan informasi mengenai masalah keperawatan terkait kesehatan klien. Hal-hal di atas merupakan sebagian kecil gambaran mengenai peran yang dapat dilakukan oleh seorang perawat profesional dalam membangun citra perawat ideal di mata masyarakat. Masih banyak lagi hal lain yang dapat dilakukan oleh seorang perawat profesional untuk menciptakan citra perawat ideal yang lebih baik lagi di mata masyarakat. Untuk mewujudkan hal itu, tentu saja diperlukan kompetensi yang memadai, kemauan yang besar, dan keseriusan dari dalam diri perawat sendiri untuk membangun citra keperawatan menjadi lebih baik. Perawat yang terampil, cerdas, baik, komunikatif, dan dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan baik sesuai dengan kode etik, tampaknya memang merupakan sosok perawat ideal di mata masyarakat. Semoga kita dapat menjadi perawat profesional yang mampu menjadi role model bagi perawat-perawat lain dalam membawa citra perawat ideal di mata masyarakat. Hidup perawat Indonesia! Peran dan Fungsi Perawat Ditulis Oleh : Abdul Wachid, SH, M.H Peran Perawat Merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukan dalam sistem, dimana dapat dipengartuhi oleh keadaan sosial baik dari profesi maupun diluar profesi keperawatan yang bersifat konstan. Peran perawat menurut konsirsium ilmu kesehatan tahun 1989 terdiri dari : a. Peran Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhann dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. b. Peran Perawat sebagai advokat klien Peran ini dilakukan oleh perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam menginterprestasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian. c. Peran Perawat sebagai Edukator Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan. d. Peran Perawat sebagai koordinator Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien. e. Peran Perawat sebagai kolaborator Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya. f. Peran Perawat sebagai Konsultan Peran ini sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Pertan ini dilakukan atas permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan. g. Peran Perawat sebagai Pembaharuan Peran ini dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan. Selain peran perawat berdasarkan konsirsium ilmu kesehatan, terdapat pembagian peran perawat menurut hasil lokakarya keperawatan tahun 1983, yang membagi empat peran perawat: a. Peran Perawat sebagai Pelaksana Pelayanan Keperawatan Peran ini dikenal dengan peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara langsung atau tidak langsung kepada klien sebagai individu, keluarga, dan masyarakat, dengan metoda pendekatan pemecahan masalah yang disebut proses keperawatan. b. Peran Perawat sebagai Pendidik dalam Keperawatan Sebagai pendidik, perawat berperan dalam mendidik individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat serta tenaga kesehatan yang berada di bawah tanggung jawabnya. Peran ini berupa penyuluhan kepada klien, maupun bentuk desiminasi ilmu kepada peserta didik keperawatan. c. Peran Perawat sebagai Pengelola pelayanan Keperawatan Dalam hal ini perawat mempunyai peran dan tanggung jawab dalam mengelola pelayanan maupun pendidikan keperawatan sesuai dengan manajemen keperawatan dalam kerangka paradigma keperawatan. Sebagai pengelola, perawat melakukan pemantauan dan menjamin kualitas asuhan atau pelayanan keperawatan serta mengorganisasikan dan mengendalikan sistem pelayanan keperawatan. Secara umum, pengetahuan perawat tentang fungsi, posisi, lingkup kewenangan, dan tanggung jawab sebagai pelaksana belum maksimal. d. Peran Perawat sebagai Peneliti dan Pengembang pelayanan Keperawatan Sebagai peneliti dan pengembangan di bidang keperawatan, perawat diharapkan mampu mengidentifikasi masalah penelitian, menerapkan prinsip dan metode penelitian, serta memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan mutu asuhan atau pelayanan dan pendidikan keperawatan. Penelitian di dalam bidang keperawatan berperan dalam mengurangi kesenjangan penguasaan teknologi di bidang kesehatan, karena temuan penelitian lebih memungkinkan terjadinya transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, selain itu penting dalam memperkokoh upaya menetapkan dan memajukan profesi keperawatan. Fungsi Perawat Fungsi Perawat Meliputi : a. Fungsi Independen Dalam fungsi ini, tindakan perawat tidak memerlukan perintah dokter. Tindakan perawat bersifat mandiri, berdasarkan pada ilmu keperawatan. Oleh karena itu, perawat bertanggung jawab terhadap akibat yang timbul dari tindakan yang diambil. Contoh tindakan perawat dalam menjalankan fungsi independen adalah: 1) Pengkajian seluruh sejarah kesehatan pasien/keluarganya dan menguji secara fisik untuk menentukan status kesehatan. 2) Mengidentifikasi tindakan keperawatan yang mungkin dilakukan untuk memelihara atau memperbaiki kesehatan. 3) Membantu pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari. 4) Mendorong untuk berperilaku secara wajar. b. Fungsi Dependen Perawat membantu dokter memberikan pelayanan pengobatan dan tindakan khusus yang menjadi wewenang dokter dan seharusnya dilakukan dokter, seperti pemasangan infus, pemberian obat, dan melakukan suntikan. Oleh karena itu, setiap kegagalan tindakan medis menjadi tanggung jawab dokter. Setiap tindakan perawat yang berdasarkan perintah dokter, dengan menghormati hak pasien tidak termasuk dalam tanggung jawab perawat. c. Fungsi Interdependen Tindakan perawat berdasar pada kerja sama dengan tim perawatan atau tim kesehatan. Fungsi ini tampak ketika perawat bersama tenaga kesehatan lainnya berkolaborasi mengupayakan kesembuhan pasien. Mereka biasanya tergabung dalam sebuah tim yang dipimpin oleh seorang dokter. Sebagai sesama tenaga kesehatan, masing-masing tenaga kesehatan mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien sesuai dengan bidang ilmunya. Dalam kolaborasi ini, pasien menjadi fokus upaya pelayanan kesehatan. Contohnya, untuk menangani ibu hamil yang menderita diabetes, perawat bersama tenaga gizi berkolaborasi membuat rencana untuk menentukan kebutuhan makanan yang diperlukan bagi ibu dan perkembangan janin. Ahli gizi memberikan kontribusi dalam perencanaan makanan dan perawat mengajarkan pasien memilih makan sehari-hari. Dalam fungsi ini, perawat bertanggung jawab secara bersama-sama dengan tenaga kesehatan lain terhadap kegagalan pelayanan kesehatan terutama untuk bidang keperawatannya.

Dipublikasi di Tak Berkategori | Meninggalkan komentar

TUGAS KEPERAWATAN ANAK 1 ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN TETANUS Oleh AFRILIUS 11111592 Dosen pembimbing: Ns.Siti Aisyah Nur,s.kep DIII KEPERAWATAN STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG 20011-2012 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkah & rahmatNya jugalah penulis dapat menyelesaikan makalah keperawatan anak dengan judul Asuhan Keperawatan pada Anak dengan tetanus Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai salah satu bahan pembelajaran dalam mata ajar keperawatan anak dan merupakan penilaian dari tugas individu Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Terima kasih. Padang, oktober 2012 Penulis DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Tujuan 1 1.2.1 Tujuan umum 1 1.2.2 Tujuan khusus 1 BAB II Tinjauan Teoritis 2.1. Defenisi tetanus 2 2.2. Etiologi tetanus 2 2.3. patofisiologi 3 2.4. WOC 4 2.5. Manifestasi Klinis 5 2.6. Komplikasi 5 2.7. Penatalaksanaan 5 BAB III Asuhan Keperawatan pada anak dengan diare 3.1. Pengkajian 8 BAB IV Penutup 4.1. Kesimpulan 14 4.2. Saran 14 DAFTAR PUSTAKA Bab 1 pendahuluan I. latar belakang Tetanus merupakan penyakit yang sering ditemukan , dimana masih terjadi di masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Di RSU Dr. Soetomo sebagian besar pasien tetanus berusia > 3 tahun dan < 1 minggu. Dari seringnya kasus tetanus serta kegawatan yang ditimbulkan, maka sebagai seorang perawat atau bidan dituntut untuk mampu mengenali tanda kegawatan dan mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat. 1.1. Tujuan 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada anak dengan diare. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui defenisi, etiologi, manifestasi klinis dan penatalaksanaan diare. 2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada anak dengan diare yang mencakup pengkajian, diagnosa dan intervensi keperawatan. 3. Untuk memenuhi salah satu tugas kelompok pada mata ajar keperawatan anak. \ BAB II Tinjauan Teoritis 2.1. Defenisi tetanus Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman clostridium tetani, tetapi akibat toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan kuman. 2.2. Etiologi tetanus Penyebab tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang merupakan kuman gram positif, anaerob, bentuk batang dan ramping. Kuman tersebut terdapat ditanah, saluran pencernaan manusia dan hewan. Kuman clostridium tetani membuat spora yang tahan lama dan menghasilkan 2 toksin utama yaitu tetanospasmin dan tetanolysin. 2.3. patofisiologi Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oxigen jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sungsum belakang toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan menimbulkan kekakuan. 2.4. WOC Tonus otot  Menempel pada Cerebral Mengenai Saraf Simpatis Gangliosides Menjadi kaku Kekakuan dan kejang khas -Keringat berlebihan pada tetanus -Hipertermi -Hipotermi -Aritmia -Takikardi Hipoksia berat  O2 di otak Kesadaran  -Ggn. Eliminasi -Ketidakefektifan jalan -PK. Hipoksemia -Ggn. Nutrisi (< dr. kebut) jalan nafas -Ggn. Perfusi Jaringan -Gangguan Komunikasi -Ggn. Pertukaran Gas Verbal -Kurangnya pengetahuan Ortu -Dx,Prognosa, Perawatan 2.5. Manifestasi Klinis Gejala klinik pada tetanus neonatorum sangat khas sehingga masyarakat yang primitifpun mampu mengenalinya sebagai “penyakit hari kedelapan” (Jaffari, Pandit dan Ismail 1966). Anak yang semula menangis, menetek dan hidup normal, mulai hari ketiga menunjukan gejala klinik yang bervariasi mulai dari kekakuan mulut dan kesulitan menetek, risus sardonicus sampai opistotonus. Trismus pada tetanus neonatorum tidak sejelas pada penderita anak atau dewasa, karena kekakuan otot leher lebih kuat dari otot masseter, sehingga rahang bawah tertarik dan mulut justru agak membuka dan kaku (Athvale, dan Pai, 1965, Marshall, 1968). Bentukan mulut menjadi mecucu (Jw) seperti mulut ikan karper. Bayi yang semula kembali lemas setelah kejang dengan cepat menjadi lebih kaku dan frekuensi kejang-kejang menjadi makin sering dengan tanda-tanda klinik kegagalan nafas (Irwantono, Ismudijanto dan MF Kaspan 1987). Kekakuan pada tetanus sangat khusus : fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai namun fleksi plantar pada jari kaki tidak tampak sejelas pada penderita anak. Kekakuan dimulai pada otot-otot setempat atau trismus kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Seluruh tubuh bayi menjadi kaku, bengkok (flexi) pada siku dengan tangan dikepal keras keras. Hipertoni menjadi semakin tinggi, sehingga bayi dapat diangkat bagaikan sepotong kayu. Leher yang kaku seringkali menyebabkan kepala dalam posisi menengadah. 2.6. Komplikasi 1. Diagnosa Pemeriksaan laboratorium : Liquor Cerebri normal, hitung leukosit normal atau sedikit meningkat. Pemeriksaan kadar elektrolit darah terutama kalsium dan magnesium, analisa gas darah dan gula darah sewaktu penting untuk dilakukan. Pemeriksaan radiologi : Foto rontgen thorax setelah hari ke-5. 2. Diagnosa Banding Meningitis Meningoenchepalitis Enchepalitis Tetani karena hipocalsemia atau hipomagnesemia Trismus karena process lokal 3. Komplikasi Bronkhopneumonia Asfiksia Sepsis Neonatorum 2.7. Penatalaksanaan • Medik Empat pokok dasar tata laksana medik : debridement, pemberian antibiotik, menghentikan kejang, serta imunisasi pasif dan aktif, yang dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Diberikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan NaCl fisiologis dalam perbandingan 4 : 1 selama 48-72 jam selanjutnya IVFD hanya untuk memasukan obat. Jika pasien telah dirawat lebih dari 24 jam atau pasien sering kejang atau apnea, diberikan larutan glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5% dalam perbandingan 4 : 1 (jika fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas darah dahulu). Bila setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi minum peroral/sonde, melalui infus diberikan tambahan protein dan kalium. 2. Diazepam dosis awal 2,5 mg intravena perlahan-lahan selama 2-3 menit, kemudian diberikan dosis rumat 8-10 mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukan ke dalam cairan infus dan diganti setiap 6 jam). Bila kejang masih sering timbul, boleh ditambah diazepam lagi 2,5 mg secara intravena perlahan-lahan dan dalam 24 jam berikutnya boleh diberikan tembahan diazepam 5 mg/kgBB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhannya menjadi 15 mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinis membaik, diazepam diberikan peroral dan diurunkan secara bertahap. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia berat atau bila makin berat, diazepam diberikan per oral dan setelah bilirubin turun boleh diberikan secara intravena. 3. ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM. Perinfus diberikan 20.000 U sekaligus. 4. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, intravena selama 10 hari. Bila pasien menjadi sepsis pengobatan seperti pasien lainnya. Bila pungsi lumbal tidak dapat dilakukan pengobatan seperti yang diberikan pada pasien meningitis bakterialis. 5. Tali pusat dibersihkan/kompres dengan alcohol 70%/Betadine 10%. 6. Perhatikan jalan napas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering dihisap. • Keperawatan Perawatan intensif terutama ditujukan untuk mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga saluran nafas tetap bebas, mempertahankan oksignasi yang adekuat, dan mencegah hipotermi. Perawatan puntung tali pusat sangat penting untuk membuang jaringan yang telah tercemar spora dan mengubah keadaan anaerob jaringan yang rusak, agar oksigenasi bertambah dan pertumbuhan bentuk vegetatif maupun spora dapat dihambat. setelah puntung tali pusat dibersihkan dengan perhydrol, dibutuhkan povidon 10% dan dirawat secara terbuka. Perawatan puntung tali pusat dilakukan minimal 3 kali sehari. BAB III Asuhan Keperawatan pada Anak dengan tetanus 3.1. Pengkajian 1. Riwayat kehamilan prenatal. Ditanyakan apakah ibu sudah diimunisasi TT. 2. Riwayat natal ditanyakan. Siapa penolong persalinan karena data ini akan membantu membedakan persalinan yang bersih/higienis atau tidak. Alat pemotong tali pusat, tempat persalinan. 3. Riwayat postnatal. Ditanyakan cara perawatan tali pusat, mulai kapan bayi tidak dapat menetek (incubation period). Berapa lama selang waktu antara gejala tidak dapat menetek dengan gejala kejang yang pertama (period of onset). 4. Riwayat imunisasi pada tetanus anak. Ditanyakan apakah sudah pernah imunisasi DPT/DT atau TT dan kapan terakhir 5. Riwayat psiko sosial. 5.1. Kebiasaan anak bermain di mana 5.2. Hygiene sanitasi 6. Pemeriksaan fisik. Pada awal bayi baru lahir biasanya belum ditemukan gejala dari tetanus, bayi normal dan bisa menetek dalam 3 hari pertama. Hari berikutnya bayi sukar menetek, mulut “mecucu” seperti mulut ikan. Risus sardonikus dan kekakuan otot ekstrimitas. Tanda-tanda infeksi tali pusat kotor. Hipoksia dan sianosis. Pada anak keluhan dimulai dengan kaku otot lokal disusul dengan kesukaran untuk membuka mulut (trismus). Pada wajah : Risus Sardonikus ekspresi muka yang khas akibat kekakuan otot-otot mimik, dahi mengkerut, alis terangkat, mata agak menyipit, sudut mulut keluar dan ke bawah. Opisthotonus tubuh yang kaku akibat kekakuan otot leher, otot punggung, otot pinggang, semua trunk muscle. Pada perut : otot dinding perut seperti papan. Kejang umum, mula-mula terjadi setelah dirangsang lambat laun anak jatuh dalam status konvulsius. Pada daerah ekstrimitas apakah ada luka tusuk, luka dengan nanah, atau gigitan binatang. 7. Pengetahuan anak dan keluarga. Pemahaman tentang diagnosis Pengetahuan/penerimaan terhadap prognosa Rencana perawatan ke depan. Tata laksana pasien tetanus Umum 1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi. Pemberian cairan secara i.v., sekalian untuk memberikan obat-obatan secara syringe pump (valium pump). 2. Menjaga saluran nafas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu tracheostomy. 3. Memeriksa tambahan oksigen secara nasal atau sungkup. 4. Kejang harus segera dihentikan dengan pemberian valium/diazepam bolus i.v. 5 mg untuk neonatus, bolus i.v. atau perectal 10 mg untuk anak-anak (maksimum 0.7 mg/kg BB). Khusus 1. Antibiotika PP 50.000-100.000 IU/kg BB. 2. Sera anti. Dapat diberikan ATS 5000 IU i.m. atau TIGH (Tetanus Immune Globulin Human) 500-3.000 IU. Pemberian sera anti harus disertai dengan imunisasi aktif dengan toksoid (DPT/DT/TT) 3. Perawatan luka sangat penting dan harus secara steril dan perawatan terbuka (debridement). 4. Konsultasi dengan dokter gigi atau dokter bedah atau dokter THT Pencegahan 1. Perawatan luka harus dicegah timbulnya jaringan anaerob pada pasien termasuk adanya jaringan mati dan nanah. 2. Pemberian ATS profilaksis. 3. Imunisasi aktif. 4. Khusus untuk mencegah tetanus neonatorum perlu diperhatikan kebersihan pada waktu persalinan terutama alas tempat tidur, alat pemotong tali pusat, dan cara perawatan tali pusat. 5. Pendidikan atau penjelasan kepada orang tua mengenai kebersihan individu dan lingkungan serta cara pemeriksaan dan perawatan di RS dan perlunya pemeriksaan lanjutan. V.2. Diagnosa Keperawatan Setelah pengumpulan data, menganalisa data, dan menentukan diagnosa keperawatan yang tepat sesuai dengan data yang ditemukan, kemudian direncanakan membuat prioritas diagnosa keperawatan, membuat kriteria hasil, dan intervensi keperawatan. 1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. peningkatan kebutuhan kalori yang tinggi, makan tidak adekuat. 2. Gangguan perfusi jaringan b.d. penurunan sirkulasi (hipoksia berat). 3. Ketidakefektifan jalan nafas b.d. terkumpulnya liur di dalam rongga mulut (adanya spasme pada otot faring). 4. Koping keluarga tidak efektif b.d. kurang pengetahuan keluarga tentang diagnosis/prognosis penyakit anak 5. Gangguan komunikasi verbal b.d. sukar untuk membuka mulut (kekakuan otot-otot masseter) 6. Risti gangguan pertukaran gas b.d. penurunan oksigen di otak. 7. Risti injuri b.d. kejang spontan yang terus-menerus (kurang suplai oksigen karena adanya oedem laring). 1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. Peningkatan kebutuhan kalori yang tinggi, makan tidak adekuat. Tujuan : nutrisi dan cairan dapat dipertahankan sesuai dengan berat badan dan pertumbuhan normal. Kriteria hasil :  Tidak terjadi dehidrasi  Tidak terjadi penurunan BB  Hasil lab. tidak menunjukkan penurunan albumin dan Hb  Tidak menunjukkan tanda-tanda malnutrisi Intervensi : 1. Catat intake dan output secara akurat. 2. Berikan makan minum personde tepat waktu. 3. Berikan perawatan kebersihan mulut. 4. Gunakan aliran oksigen untuk menurunkan distress nafas. 5. Berikan formula yang mengandung kalori tinggi dan protein tinggi dan sesuaikan dengan kebutuhan. 6. Ajarkan dan awasi penggunaan makanan sehari-hari. 7. Tegakkan diet yang ditentukan dalam bekerja sama dengan ahli gizi. 2. Ketidakefektifan jalan nafas b.d. terkumpulnya liur di dalam rongga mulut (adanya spasme pada otot faring) Tujuan : kelancaran lalu lintas udara (pernafasan) terpenuhi secara maksimal. Kriteria hasil :  Tidak terjadi aspirasi  Bunyi napas terdengar bersih  Rongga mulut bebas dari sumbatan Intervensi : 1. Berikan O2 nebulizer 2. Ajarkan pasien tehnik batuk yang benar. 3. Ajarkan pasien atau orang terdekat untuk mengatur frekuensi batuk. 4. Ajarkan pada orang terdekat untuk menjaga kebersihan mulut. 5. Berikan perawatan kebersihan mulut. 6. Lakukan penghisapan bila pasien tidak dapat batuk secara efektif dengan melihat waktu. BAB IV Penutup Kesimpulan Penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh yang ditandai dengan kesulitan membuka mulut dan menetek, disusul dengan kejang–kejang (WHO, 1989). Kejang yang sering di jumpai pada BBL, yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak bersih Ngastijah, 1997). Saran Usaha pencegahan dan penatalaksanaan tetanus yang tepat sangat diperlukan untuk mengurangi angka kesakitan dan angka kematian akibat tetanus dan komplikasi yang ditimbulkannya DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan RI. (2000). Buku Ajar tetanus. Jakarta: Depkes RI Ditjen PPM dan PLP. Doenges,ME, et all. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan; Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Ed.3. Jakarta:EGC. Staf Pengajar IKA FK UI. (2000). Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 1. Jakarta: Bagian IKA FK UI. Suriadi, S.Kp.,Rita Yuliani,S.Kp., (2001). Asuhan Keperawatan pada Anak. Ed.1. Jakarta: P.T. Fajar Intrapratama. Tin Afifah, Srimawar Djaja, Joko Irianto. (2003). Kecendrungan Penyakit Penyebab Kematian Bayi dan Anak Balita di Indonesia 1992-2001 dalam Buletin Penelitian Kesehatan. Vol 31. No2. Jakarta: Depkes RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Dipublikasi di Tak Berkategori | Meninggalkan komentar

Halo dunia!

Selamat datang di WordPress.com! Ini adalah postingan pertama Anda. Klik Sunting untuk memodifikasi atau menghapusnya, atau tulis postingan baru. Kalau mau, gunakan postingan ini untuk menyampaikan kepada para pembaca mengapa Anda membuat blog ini dan apa rencana Anda selanjutnya.

Selamat ngeblog!

Dipublikasi di Tak Berkategori | 1 Komentar